Gambar: Rumah Adat Bolaang Mongondow "BOBAKIDAN"
GUMALANGIT; GINSAPONDO atau Tumanurung; PONDADAT(ayah kandung dari
Raja Ponamon) atau leluhurnya(kakeknya) Raja Paputungan, dll.;
TAMBARIGI; GOLONGGOM; GINUPIT; YAYUBANGKAI; PONAMON; MAMONTO;
PAPUTUNGAN; KOLOPITA; BUSISI; SIMBALA; DAMOKIONG; BAHANSUBU; LOBANSUBU;
DOLOT; GINOGA; DATUELA; DAMOKIONG; DAMOPOLII putranya Yayubangkai;
DAMOPOLII putranya Paputungan; DABIT; BANGKIANG; MAKALALAG; MAKALALO;
MALASAI; MALAH; MOKOAGOW; LOMBAN; DUWATA’ atau DUATA’; BONDE;
DAKOTEGELAN; KOINSING; MOKOAPA; MOKODOMPIT; KOBANDAHA; KUNSI’; PINUYUT;
BANGOL(dari jalur keturunan Mamonto); MANGGOPA; PANGGULU; MAKALUNSENGE;
MOKOTOLOI; POLO; PUDUL; MANOPPO atau MANOPO, beserta
keturunan-keturunannya yang tidak dapat disebutkan satu persatu semuanya
adalah keturunan RAJA LOLODA MOKOAGOW ATAU DATU BINANGKANG DAN SERING
DISEBUT KI MOKOAGOW ATAU KI ABO’ MOKOAGOW, dimana fam-fam tersebut secara geneologi menunjukan keturunan pewaris
darah raja-raja Mongondow atau golongan Mododatu yaitu yang berhak
menjadi raja Bolaang Mongondow berdasarkan garis keturunan secara
“PATRILINEAL (Garis keturunan yang ditarik dari pihak ayah secara turun
temurun)” dalam setiap pengangkatan Raja-Raja Bolaang Mongondow atau
Para Datu Binangkang(Raja-Raja Loloda Mokoagow) berdasarkan hukum adat
atau hukum tua(Lihat W. Dunnebier tahun 1984 halaman 21 baris ke-15 kata
pertama sampai baris ke-16 kata ke-3) berbunyi :
“PENGANGKATAN RAJA SENANTIASA AKAN DIPILIH DARI PIHAK PRIA KETURUNAN
RAJA-RAJA” yang mana kesemua fam-fam yang telah disebutkan di awal
tulisan ini beserta keturunan-keturunannya berdasarkan Patrilineal
adalah semuanya mewarisi DARAH MODODATU(darah keturunan para raja
Bolaang Mongondow) karena kesemuanya adalah keturunan PARA PUNU’
MOLANTUD MOKODOLUDUT ATAU RAJA-RAJA LOLODA MOKOAGOW/ PARA DATU
BINANGKANG SECARA PATRILINEAL{pihak-pihak yang berhak dirajakan atau
pewaris tahta dan berhak memakai simbol-simbol raja seperti Golomang,
kulintang(alat-alat musik tertentu) dan atribut-atribut Mododatu
lainnya} dan lain-lain sebagai tanda atau atribut wajib yang digunakan
oleh kaum raja atau keturunan Mododatu yaitu Golongan Raja yaitu garis
keturunan secara patrilineal yang telah diwarisi dari Para Punu’
Molantud Mokodoludut, seperti Adat Pernikahan/Perkawinan, Pesta, dan
pada Upacara Adat Kematian pada keluarga keturunan raja atau
fam-fam/marga-marga kaum mododatu yang telah disebutkan di awal tulisan
ini, adalah sebagai berikut :
Di rumah orang yang meninggal dipasang ARKUS yang terbuat dari kain
putih(pusi’= menyerupai ukuran bendera berukuran sedang yang dipasangkan
pada sebuah kayu) yang secara utuhnya berupa hiasan yang terbuat dari
daun enau muda atau janur kuning yang dibentuk menjadi lengkungan
seperti busur pada sisi di samping bangun kerucut tersebut dan pada sisi
yang lain (pada bangun kerucut )tersebut dibentuk sedikit agak
melengkung yang terdiri dari empat lengkungan yang terbuat dari empat
batang daun enau atau janur kuning dan masing-masing belahan ditempatkan
pada empat sisi dengan empat tiang yang mana yang ke empat tiang
tersebut terbuat dari bahan batang bambu dan secara keseluruhannya
bangun-bangun tersebut menyerupai gabungan antara bangun limas yang
dipasangi tiang bambu atau “MATUBO ATAU DENGAN PENAMAAN LAIN DI WILAYAH
MONGONDOW LAINNYA UNTUK ACARA KEDUKAAN DAN TOIBOI ATAU DENGAN PENAMAAN
LAIN DI WILAYAH MONGONDOW LAINNYA” untuk acara pesta pernikahan
keturunan raja/ mododatu, pesta penjemputan tamu agung yaitu keturunan
mododatu/ kaum raja seperti fam-fam atau marga-marga yang disebutkan
dalam tulisan ini) dengan bangun kerucur sebagai tempat pemasangan
arukus atau selembar kain putih polos (pusi’) yang menyerupai ukuran
bendera dan dipasangkan di puncak bangun kerucut tersebut di bagian
paling atas pada gabungan kerangka bangun-bangun tersebut, yang
ditempatkan di depan rumah (menyerupai posisi gapura dijalan masuk di
depan rumah)pihak atau keluarga yang berduka, dan sebagai pengganti
sehelai kain putih polos dalam acara kedukaan tersebut maka pada pesta
pernikahan/perkawinan dan lainnya digunakan{TOIBOI atau dengan penamaan
lain di wilayah mongondow lainnya untuk acara kedukaan (seperti MOTUBO
atau dengan penamaan lain di wilayah mongondow lainnya untuk acara
kedukaan ) untuk acara pesta pernikahan keturunan raja/ mododatu, pesta
penjemputan tamu agung yaitu keturunan mododatu/ kaum raja seperti
fam-fam yang disebutkan dalam tulisan ini} beberapa jenis bunga dengan
tangkainya seperti yang antara lainnya : Bunga Dayou, Bunga kirisan,
Bunga Dalia, Daun Toba’ang yang terbaik beserta tangkainnya, dan buah
kolapipi yaitu kuncup bakal biji kelapa yang masih mudah dan membentuk
seperti tangkai padi, lalu disatukan dengan diikat sebagai pengganti
sehelai kain putih polos tersebut, dan dari semua bunga dan daun-daunan
tersebut yang terpokok adalah “BUNGA DAYOW dan BUNGA TOBA’ANG” karena di
zaman Punu’ Molantud Mokodoludut juga secara turun-temurun sudah lama
digunakan untuk menghormati keturunan-keturunanya yang berhak mewarisi
kedudukan raja yang dikenal dengan sebutan mododatu yaitu fam-fam yang
telah diuraikan di awal tulisan ini dan berhak menggunakan nama “ABO’“
di awal nama untuk keturunan-keturunan dari pihak pria dan “BUA’“ di
awal nama untuk keturunan-keturunannya yang wanita, dan untuk Adat
Pernikahan/Perkawinan, Pesta, dan pada Upacara Adat Kematian pada keluarga keturunan raja atau
fam-fam/marga-marga kaum mododatu(fam-fam yang telah disebutkan di awal
tulisan ini) diiringi pula dengan memainkan alat musik seperti
“KULINTANG” yang terbuat dari logam atau kuningan yang utama terbuat
dari kuningan yang terdiri dari 5 sampai 7 buah mungmung atau gong yang
berukuran kecil berderet dilengkapi dengan gendang 1 atau 2 buah,
golantung atau gong yang berukuran besar 1 buah dan dimainkan oleh lebih
dari 1, 2 orang atau lebih.
Adapun kegiatan dan tradisi ini sudah dilaksanakan secara turun
temurun sejak dari zaman Raja-Raja Loloda Mokoagow = Para Datu
Binangkang atau Para Punu’ Molantud Mokodoludut(Raja Tertinggi
Mokodoludut) sebelum abad XIII Masehi. Tetapi sayangnya penamaan gelar
Mododatu dan atribut-atribut kebangsawanan Mododatu tersebut dalam
kenyataannya sering dipakai oleh golongan yang bukan keturunan raja atau
keturunan golongan “Raja”(Mododatu) dan diragukan atau bukan keturunan
Mododatu kerajaan Bolaang Mongondow dan malah sebaliknya
keturunan-keturunan asli Mododatu seperti marga-marga yang telah
disebutkan di awal tulisan ini lewat penjelasan sejarah secara sepihak
oleh W. Dunnebier dan keturunan Tadohe’ yaitu dalam pengkultusan
Tadoheisme lewat mis information dalam sejarah raja-raja Bolaang
Mongondow tanpa meninjau sejarah kerajaan Bolaang Mongondow yang
holistik dan konfrehensif oleh keturunan Tadohe’ dalam faham Tadoheisme
atau Tadohenisasi dalam sejarah kerajaan Bolaang Mongondow seolah-olah
tidak boleh menggunakan atribut-atribut tersebut yang seharusnya gelar
tersebut yaitu gelar Abo’ dan gelar Bua’ sesuai dengan “Aturan tua atau
hukum adat kerajaan Bolaang Mongondow sejak dari zaman purba sampai raja
terakhir tahun 1950 yang berhak disandang dan digunakan oleh
pihak-pihak seperti fam-fam atau marga-marga yang sudah ditampilkan dan
disebutkan di permulaan tulisan ini”
Adapun Mobakid yang dilaksanakan di eranya Tadohe sama seperti yang
diadakan di era raj-raja Bolaang Mongondow jauh atau sebelum periode
Tadohe’(1661-1670 M). Kekacauan penggunaan gelar “ABO’“ dan gelar “BUA’“
dan atribut-atribut golongan raja ini diakibatkan karena secara
“PATRILINEAL(Garis keturunan yang ditarik dari pihak ayah)” dalam
pengangkatan raja-raja Bolaang Mongondow dari zaman purba sampai dengan
raja terakhir kerajaan Bolaang Mongondow yaitu Raja H. J. C. Manoppo berdasarkan “HUKUM ADAT ATAUPUN HUKUM TUA” yang selama ini dalam
penulisan sejarah dan hikayat raja-raja Bolaang Mongondow telah sengaja
dihapuskan, dihilangkan, diplintir, dipotong-potong, dibengkokan,
dikaburkan atau juga dikusutkan = kusut = kekacauan = Konfusi,
dibelokkan, tidak dijelaskan secara konfrehensif dan holistik,
diplesetkan, lalu didaulat tidak ada, dan lain sebagainya secara sengaja
oleh W. Dunnebier beserta para penguasa dan sebagian pemuka atau tokoh
adat yang mempunyai keturunan dari luar daerah Bolaang Mongondow pada pada saat itu yang berlebel “tgl. 14 hari
bulan ke-sembilan tahun 1849” yang mana hanya membahas mengenai status
golongan Kohongian, Simpal, Tahoq, Yobu’at, Nonow, dan khusus golongan
Raja atau Mododatu tetap sesuai dengan Aturan Tua yaitu Pengangkatan
Raja senantiasa akan dipilih dari pihak pria keturunan Raja-Raja”(adapun
Amandemen tersebut selanjutnya tidak berlaku lagi karena bertentengan
dengan hukum murni atau hukum tua kerajaan Bolaang Mongondow yaitu
“dalam pasal 15 dimana dikatakan bahwa semua anak-anak ikut golongan
pihak bapak”) kembali diluruskan di era pemerintahan Raja D. C. Manoppo
dalam W. Dunnebier tahun 1984 halaman 81 baris ke-25 kata pertama sampai
baris ke-30 kata ke-2 berdasarkan hukum tua atau aturan tua yang mana
Amandemen “tgl. 14 hari bulan ke-sembilan tahun 1849” oleh kelompok yang
mengincar jabatan yang kebetulan dekat dengan sumbuh kekuasaan. Hal hal
ini dibenarkan oleh W. Dunnebier sendiri(Lihat W. Dunnebier tahun 1984
halaman 72) yang mengatakan bahwa Amandemen yang berlebel “tgl. 14 hari
bulan ke-sembilan tahun 1849” yang berbunyi :
“…..Pasal-pasal disebut(Tambahan penulis berdasarkan data yang ada =
lebel “tgl. 14 hari bulan ke-sembilan tahun 1849”), yang saling
berlawanan, pendapat penulis(W. Dunnebier) juga dapat dianggap sebagai
suatu usaha percobaan untuk mengadakan perobahan terhadap aturan-lembaga
tertua, justru beberapa pihak mempunyai kepentingan yang sangat besar
artinya”.
Seperti dalam penulisan sejarah ada sekelompok orang dan keturunan
tertentu merasa dirugikan dengan tulisan sejarah sehingga mereka
berusaha melakukan pemolesan untuk menghindari catatan sejarah yang
merugikan leluhur mereka atau membongkar keturunan asli mereka seperti
penulisan penghapusan sejarah tentang asal keturunan dari suku luar atau
melakukan pemolesan sejarah dengan memutar balikan fakta sejarah masa
lalu guna mengikuti keinginan mereka yaitu suatu penulisan yang tidak
objektif misalnya yang paling nyata adalah penulisan prosesi
pengangkatan Raja Laurens Cornelis Manoppo yang sengaja dikaburkan oleh
kelompok tertentu dapat kita lihat bersama dimana dalam suksesi
pemelihan raja di era pasca meninggalnya Raja D. C. Manoppo tahun 1927
yang dimenangkan oleh Raja Laurens Cornelis Manoppo{Putra langsung dari
Raja D. C. Manoppo dengan Boki’ Hagi Mokoagow putrinya Presiden Raja
Luri Mokoagow(Cucu langsung dari Raja Cornelis Manoppo) yang memenuhi
secara “Fit And Proper Test”} yang mana salah satu pesaing utamanya
yaitu Jogugu Abram Patra Mokoginta atau dikenal dengan Jogugu A. P.
Mokoginta adalah mewarisi keturunan Raja Eyato Puluhulawa(dari
Gorontalo/ bukan Golongan Mododatu Kerajaan Bolaang Mongondow) atau ayah
kandungnya Dodaton{kakeknya Mokoginta(asal usul marga Mokoginta) atau
juga asal usulnya Jogugu A. P. Mokoginta secara patrilineal}yang dalam
bukunya W. Dunnebier tahun 1984 pada bagian LAMPIRAN I berusaha
dikaburkan, diplesetkan lalu dikultuskan oleh penterjemah bukunya W.
Dunnebier tahun 1984 tersebut untuk mengaburkan sejarah raja terpilih
pada waktu itu tetapi walaupun begitu masih bisa kita bedakan lewat
berbagai daftar-daftar silsila keturunan Raja-Raja Bolaang Mongondow
secara patrilineal(berdasarkan beberapa penuturan dari keturunan
Mokoginta tentang asal usul marga Mokoginta adalah berasal dari Raja
Eyato Puluhulawa = dari Gorontalo = atau ayahnya Dodaton/ kakeknya
Mokoginta = asal usul marga Mokoginta yang dituturkan oleh beberapa
tokoh masyarakat keturunan Mokoginta kepada penulis).
Dengan begitu dapat menjelaskan kepada kita yang mana Mododatu dan
yang mana bukan Mododatu dan dicocokkan dengan data-data sejarah
kerajaan Bolaang Mongondow yang ada dan hal ini antara lainnya dapat
kita lihat dalam bukunya W. Dunnebier tahun 1984 pada bagian LAMPIRAN I
halaman 106 pada baris ke-20(dua puluh) kata ke-7(tujuh) sampai dengan
baris ke-24(dua puluh empat) kata pertama yang berbunyi :
“……,akan tetapi mendapat tantangan berat dari petugas-petugas Belanda
dan beberapa pengemuka-adat setempat yang diam-diam dipelopori oleh W.
Dunnebier(Tambahan penulis = W. Dunnebier berperan sebagai cendikiawan
atau konsultan yang dipercaya oleh kerajaan Bolaang Mongondow), dengan
alasan tidak berhak menjadi Raja karena keturunan,………..”(Lihat W.
Dunnebier tahun 1984 halaman 21 Hukum Adat atau Aturan Tua tentang
pengangkatan Raja-Raja Kerajaan Bolaang Mongondow yang berlaku sejak
Punu’ Molantud Mokodoludut yang berbunyi : “Pengangkatan Raja senantiasa
akan dipilih dari pihak pria keturunan Raja-Raja”). Dan hasil
plesetannya dalam W. Dunnebier tahun 1984 baris ke-29(dua puluh
sembilan) kata ke-5(kelima) sampai dengan baris ke-30(tiga puluh) kata
ke-7(tujuh) yang berbunyi :
“……(lihat tanda nomor @+33) diatas ini. Jelas, bahwa alasan tersebut
dibuat-buat saja;……….”. juga contoh lainnya antaranya yaitu sejarah
tentang asal-usul bangsawan-bangsawan Bolaang Mongondow hanya berasal
dari Tadohe’(Sadohe’) dan Abo’ Loloda Mokoagow yaitu ayah kandung dari
Raja Jacobus Manoppo yang juga bergelar Raja Loloda Mokoagow dan lain
sebagainya oleh keturunan Tadohe’ cs dalam Tadoheisme untuk dikultuskan
sedangkan dalam sejarah jauh sebelum era Tadohe’ di Bolaang Mongondow
telah ada keturunan bangsawan atau para raja Bolaang Mongondow antara
lainnya fam-fam atau marga-marga seperti :
“GUMALANGIT; GINSAPONDO atau Tumanurung; PONDADAT(ayah kandung dari
raja Ponamon) atau leluhurnya(kakeknya) Paputungan; TAMBARIGI;
GOLONGGOM; GINUPIT; YAYUBANGKAI; PONAMON; MAMONTO; PAPUTUNGAN; KOLOPITA;
BUSISI; SIMBALA; DAMOKIONG; BAHANSUBU; LOBANSUBU; DOLOT; GINOGA;
DATUELA; DAMOPOLII putranya Yayubangkai; DAMOPOLII putranya Paputungan;
DABIT; BANGKIANG; MAKALALAG; MAKALALO; MALASAI; MALAH; MOKOAGOW; LOMBAN;
DUWATA’ atau DUATA’; BONDE; DAKOTEGELAN; KOINSING; MOKOAPA; MOKODOMPIT;
KOBANDAHA; KUNSI’; PINUYUT; BANGOL(dari jalur keturunan Mamonto);
MANGGOPA; PANGGULU; MAKALUNSENGE; MOKOTOLOI; POLO; PUDUL; MANOPPO atau
MANOPO;, beserta keturunan-keturunan marga-marga tersebut yang mewarisi
garis keturunan secara Patrilineal”.
Dengan jelas upaya untuk mengicar status dan jabatan dalam kerajaan
Bolaang Mongondow oleh pihak-pihak yang tidak berhak atau bukan golongan
mododatu berusaha mengadakan pemolesan sejarah seperti penamaan gelar
Mododatu dan atribut-atribut kebangsawanan Mododatu tersebut seperti
Kulintang, Motubo atau dengan penamaan lain dan Toipoi atau dengan
penamaan lain, gelar Abo’ dan Bua’, dan lain sebagainya dalam
kenyataannya sering dipakai oleh golongan yang bukan keturunan raja atau
keturunan golongan “Raja”(Mododatu) dan diragukan atau bukan keturunan
Mododatu dan malah sebaliknya keturunan-keturunan asli Mododatu
seolah-oleh oleh marga tertentu mengatakan tidak berhak yang apabila
kita adakan ferifikasi dan kajian sejarah ternyata yang berhak adalah
fam-fam atau marga-marga yang telah disebutkan sebagai marga Mododatu
tersebut yaitu marga-marga : “GUMALANGIT; GINSAPONDO atau Tumanurung;
PONDADAT(ayah kandung dari raja Ponamon) atau leluhurnya(kakeknya)
Paputungan; TAMBARIGI; GOLONGGOM; GINUPIT; YAYUBANGKAI; PONAMON;
MAMONTO; PAPUTUNGAN; KOLOPITA; BUSISI; SIMBALA; DAMOKIONG; BAHANSUBU;
LOBANSUBU; DOLOT; GINOGA; DATUELA; DAMOKIONG; DAMOPOLII putranya
Yayubangkai; DAMOPOLII putranya Paputungan; DABIT; BANGKIANG; MAKALALAG;
MAKALALO; MALASAI; MALAH; MOKOAGOW; LOMBAN; DUWATA’ atau DUATA’; BONDE;
DAKOTEGELAN; KOINSING; MOKOAPA; MOKODOMPIT; KOBANDAHA; KUNSI’; PINUYUT;
BANGOL(dari jalur keturunan Mamonto); MANGGOPA; PANGGULU; MAKALUNSENGE;
MOKOTOLOI; POLO; PUDUL; MANOPPO atau MANOPO;, beserta
keturunan-keturunan tersebut yang mewarisi garis keturunan secara
Patrilineal”.
Sesuai beberapa pengakuan W. Dunnebier sendiri yang mana
kesalahan-kesalahan penulisannya terhadap sejarah Bolaang Mongondow
disisipkannya di hampir seluruh halaman bukunya yang berjudul “Over De
Vorsten Van Bolaang Mongondow tahun 1984” yang secara politik
dikondisikan atau diadakan berdasarkan untuk kepentingan pengkultusan
kepada para raja Bolaang Mongondow keturunan-keturunan Tadohe’ dalam
mempertahankan kedudukan raja agar tidak pindah kepada pihak fam-fam
(marga-marga) yang telah disebutkan di awal tulisan ini dengan harapan
fam-fam tersebut tidak mengetahui, mengenal dan memahami kebesaran
leluhurnya dengan pemahaman yang sistematis atau intelektual dan jiwa
sebagai keturunan raja-raja Bolaang Mongondow atau sebagai keturnunan
Para Datu Binangkang secara patrilineal.
Dengan upaya tersebut maka untuk menutup-nutupi kebenaran sejarah
kerajaan Bolaang, digiring ke kebudayaan(budaya) dan kesenian(seni)
supaya orang Bolaang Mongondow lupa dan takut untuk mempelajari
keberadaan dirinya sendiri secara sistematis dan intelektual yang
notabennya adalah juga keturunan golongan “MODODATU ATAU PARA RAJA
MOKOAGOW” sebagai bentuk mis information dalam sejarah raja-raja Bolaang
Mongondow yang terselubung selama ini yang penting untuk diangkat
kembali agar sejarah kerajaan Bolaang Mongondow yang benar dan berimbang
dapat dinikmati bersama terutama oleh para generasi yang akan datang”.
Adapun pemakaian atribut-atribut raja-raja dan kerajaan Bolaang
Mongondow selama ini malahan sebagian besar bukan lagi para golongan
asli Mododatu yang menggunakannya tetapi pihak yang bukan golongan
Mododatu Bolaang Mongondow dengan ungkapan in Mogoguyang yang berbunyi :
“MOANTO’ MASA NA’AYA DOKABIDON DUMAYA-DAYAN TUMON MODODATU PADAHAL
DE’ EMANBI’ MODODATU ANDEKA ADAT TA DIA’ KO ADAT-ADAT MINTAN” yang
artinya sesuai hikayat maupun penuturan para tua-tua/ para orang tua,
sekarang adat penghormatan tersebut kebanyakan sudah digunakan oleh
pihak yang tidak berhak menggunakannya(bukan golongan mododatu kerajaan
Bolaang Mongondow) dan hanya ikut-ikutan saja atau aturan yang tidak
berdasarkan pada aturan atau sumber yang asli/aturan tua(Lihat W.
Dunnebier 1984 halaman 21 baris ke-15 kata pertama sampai baris ke-16
kata ke-3). Adapun hal-hal tersebut dapat dibuktikan secara bukti-bukti
data-data sejarah baik dalam bentuk data-data, literatur-literatur
sejarah daftar silsilah keturunan raja-raja Bolaang Mongondow maupun
hikayat-hikayat yang menggunakan sistem pengangkatan raja-raja Bolaang
Mongondow yang berlaku sejak zaman purba sampai raja terakhir Raja H. J.
C. Manoppo yang mengambil sistem Patrilineal dalam setiap suksesi dan
prosesi pengangkatan raja Bolaang Mongondow yang berbunyi :
“Pengangkatan Raja senantiasa akan dipilih dari pihak pria keturunan
Raja-Raja(W. Dunnebier 1984 halaman 21, baris ke-15 kata pertama sampai
dengan baris ke-16 kata ke-3)”, dan lain-lain. Yang apabila kita kaji
maka dapat diperhadapkan kepada temuan-temuan yang mana salah satunya
adalah bagaimana agar para fam-fam seperti yang disebutkan pada awal
tulisan ini oleh faham Tadoheisme supaya tidak mengetahui asal-muasalnya
atau leluhurnya yang notabennya adalah juga keturunan Para Raja Loloda
Mokoagow atau Para Datu Binangkang berdasarkan bukti-bukti dan data-data
yang ada yang oleh W. Dunnebier dan para penguasa beserta sebagian
tokoh adat pada saat itu yaitu keturunannya Tadohe’(Sadohe’) secara
politik dan lain sebagainya dianggap dapat mengancam eksistensi dan
kedudukan para raja leluhur dan keturunan Raja Tadohe’.
Hal ini mungkin didasari oleh kepentingan politik, ekonomi, tidak mau
disaingi karena takut bersaing, jabatan, kedudukan,
penghidupan(keamanan mata pencaharian), eksistensi diri agar bagaimana
supaya tidak ada saingan, politik, ekonomi, penghidupan, persaingan
kerja, dan lain sebagainya oleh para penguasa maupun tokoh adat pada
waktu itu supaya tidak ada saingan atau menghindari persaingan politik
untuk kepentingan sendiri secara pribadi atau kelompok agar marga-marga
yang telah disebutkan di awal tulisan ini tidak mengetahui asal-usulnya
secara sistematis atau intelektual sebagai keturunan Para Raja Bolaang
Mongondow atau Para Raja Loloda Mokoagow/Datu Binangkang yang sering
dikenal dengan sebutan “KI MOKOAGOW” atau “ABO’ MOKOAGOW” yaitu mewarisi
darah keturunan Para Raja Bolaang Mongondow yang dapat mengancam
eksistensi keturunan dan leluhurnya Tadohe’ di berbagai segi dan bidang
kehidupan dan penghidupan antara lainnya dengan cara menutup-nutupi
kebenaran sejarah kerajaan Bolaang Mongondow lalu digiring ke
kebudayaan(budaya) dan kesenian(seni) supaya orang Bolaang Mongondow
lupa dan takut/ ketakutan untuk mempelajari keberadaan dirinya sendiri
secara sistematis dan intelektual yang notabennya adalah juga keturunan
golongan “MODODATU ATAU PARA RAJA MOKOAGOW”.
Timbul pertanyaan. Ada apa sebenarnya dengan yang terjadi terhadap
penulisan-penulisan sejarah kerajaan Bolaang Mongondow selama ini?, dan
untuk kepentingan siapa upaya-upaya misinformation tersebut diadakan?.
Inilah salah satu sisi dari sekian segi dan dimensi perihal sejarah
Kerajaan Bolaang Mongondow yang banyak dikaburkan oleh W. Dunnebier
beserta beberapa para penguasa dan tokoh adat pada saat itu yang sengaja
dikaburkan untuk kepentingan Keturunan Tadohe’ oleh Belanda dan para
raja keturunan atau pihak leluhur dan keturunannya Tadohe’ pada saat
itu.
Sumber: Berdasarkan karya-karyanya W. Dunnebier sendiri;
“Mododatu In Bolaang Mongondow Dan Pembatasan Penulisan Sejarah Untuk
Kepentingan Penguasa Era Penulis W. Dunnebier”