Mitologi Dan Asal-Usul Masyarakat Bolaang Mongondow.
Asal-Usul Penduduk
Hikayat yang berkembang secara turun
temurun tentang asal usul manusia yang mendiami daratan Bolaang
Mongondow, Berawal dari masa terjadinya kenaikan permukaan air, Sehingga
hampir semua daratan tenggelam tertutup air. Menurut hikayat ini, Pada
waktu itu terjadilah air pasang yang melanda semua daratan dan
membenamkannya dibawah permukaan air. Sehingga, yang tersembul tinggal
satu tempat yang dikenal dengan gunung Komasaan atau Huntuk, Yang dikala
itu termasuk puncak yang tertinggi. Tempat ini sekarang disebut Huntuk
Baludaa dihulu sungai Ilanga sekitar 40 Km dari Bintauna.
Pada masa itu, yang mula-mula tinggal disana
satu-satunya manusia bernama Gumolangit atau Budolangit, Yang artinya
manusia turun dari langit.
Sekali waktu Gumolangit berjalan mengelilingi gunung
sambil menyusuri pantai, Tiba-tiba tampak olehnya seorang laki-laki
ditengah laut yang sedang berjalan diatas ombak menuju ke pantai.
Setibanya di pantai,pecalah ombak dan bertepatan dengan itu, muncullah
seorang wanita dari pecahan ombak tersebut.Jadi, saat pendatang asing
itu melangkah kedarat, ombak besar menghambur ke pantai dan dari pecahan
ombak ini muncul pulah seorang wanita. Karena itu, Gumolangit menamakan
Laki-laki itu “Tumotoi Bokol”, yang artinya meniti pada ombak.
Sedangkan si wanita dinamakan “Tumotoi Bokat”, artinya keluar dari
pecahan ombak.
Kemudin Gumolangit meneruskan perjalanannya di tepi
laut hingga ia merasa lelah dan haus. Tiba-tiba ia melihat seruas bambu.
Setelah di amat-amati, ternyata bambu tersebut tidak mempunyai ruas.
Sepotong bambu itu merupakan pipa yang ujung ruasnya tidak berbuku.
Diambilnya bambu itu dan menujulah dia ke suatu sumber mata air yang
mengalir dari celah_celah batu.
Ketika hendak mengisi air, Tangan Gumolangit yang
satu dipakai menutup ujung bambu bagian bawah, agar tidak terbuang.
Setelah bambu terisi penuh, Gumolangit hendak meminumnya. Namun
terjadilah suatu keajaiban. Dari bambu itu tak setetes pun air yang
keluar untuk dapat diminum. Beberapa kali dia berusaha menuangkan air ke
mulutnya. Tetapi air itu tidak pernah keluar dari bambu.
Sementara Gumolangit terheran-heran dan
bertanya-tanya tentang ihwal kejadian itu, Tiba-tiba potongan bambu itu
pecah berserakan dan secara ajaib berdirilah seorang perempuan di
depannya. Karena terkajut, sampai-sampai dia terlompat ke udara.
Gumolangit menamakan perempuan ini “Tendeduata”, yang bermakna pujaan
dewa.
Selanjutnya, keempat manusia ini tinggal bersama di
puncak Gunung Komasaan. Kemudian mereka menjadi dua pasanga suami-istri
Gumolangit-Tendeduata dan Tumotoi Bokol-Tumotio Bokat.
Beberapa waktu terselang, pasangan Gumolangit dan
Tendeduata dikaruniai seorang anak perempuan cantuk yang diberi nama
Dinondong (yang dieluk-eluk). Tumotoi tumotopi Bokol dan Tumotoi Bokat
dianugerahi seorang seorang anak laki-laki yang di beri nama Sugeha.
Setelah dewasa- atas kesepakatan kedua orang tua
masing-masing – keduanya di kawinkan. Dari perkawinan Sugeha dan
Dinondong, lahirlah seorang anak laki-laki yang di beri nama Sinudu
(penerus/penyusul). Ketika telah dewasa, Sindu kawin denga seorang
perempuan yang bernama Golingginan (hidup sederhana).
Sinudu dan Golinggian beroleh anak perempuan yang
dinamai Sampoto. Sampoto artinya ingin memperoleh wanita. Setelah
mencapai dewasa, Sampoto kawin dengan Daliian (Daliyann = ingin
mengulang kembali). Perkawinan mereka dianugerahi tiga anak
masing-masing bernama: Pondaag, Daagon dan Mokodaag.
Pada usia dewasa, Daagon dikawinkan dengan Dampulolingdan tidak lama kemudian memperoleh anak: Silagondo.
Tahun-tahun terus berganti. Makin lama penduduk makin
bertambah. Seiring pertumbuhan penduduk, permukaan air pun semaki surut
dan bermunculan banyak daratan. Sejak itu, dimulailah persebaran
manusia ke seluruh penjuru Bolaang Mongondow. Bahkan pada masa itu
pilah, mulai terbentuk pemukiman-pemukiman (totabuan) baru yang satu
sama lain saling berjauhan. Melalui perjalanan waktu, makin lama
pertumbuhan pendudukmakin meningkat dan lambat laun manusia tidak saling
mengenal lagi.
Ada yang menetap di tempat semula (Huntuk). Ada pulah
yang menuju pantai Utara dan kearah pedalaman sebelah timur dan
selatan. Yang menuju ke Utara mendiami tempat dan wilayah Pandoli,
Sinumolantaan, Ginolantungan, Buntalo, Maelang dan lain-lain. Yang ke
pedalaman dataran Mogutalong/dataran Mongondow, menuju Tudu in Passi,
Tudu in Lolayan, Tudu in Sia, Polilian, Alot, Batunoloda, Batu Bogani
dan sebagainya. Yang menuju ke pedalaman sebelah selatan mendiami
tempa-tempat seperti Bumbungan, Mahag, Tabagolinggot, Tabagomamang,
Siniyow, Dumoga Mointok, Dumoga Moloben dan lain-lain.
Tempet-tempet ini kemudian berkembang menjadi wilayah
pemukiman yang luas. Denagan berkembangnya penduduk di masing-masing
wilayah atau kelompok, mereka pun mengangkat kepala kelompok sebagai
pimpinan yang berfungsi mengatur tata tertib kehidupan di pemukiman.
Orang-orang yang di pilih biasanya mereka yang di nilai cerdik, kuat dan
berani. Kepala-kepala kelompok atau pimpinan ini disebut Bogani (gagah
dan berani).
Bogani-bogani yang terkenal dimasa itu antara lain:
Bogani Damoluwo’ dan Pongayou di Tudu in Passi, Bogani Binongkuyu’ di
Tudu in Bakid di Pontodon, Bogani Lingkit di Tudu in Yanggat dan Bogani
Dondo di Tudu in Bilalang di Bilalang. Kemudian Bogani Mogedag dan
Bogani Bulumondow di Tudu in Lolayan, Bogani Bolongkasi di Buluan,
Bogani Rondong dan Bongiloi di Poliian, Bogani Manggopa Kilat dan
Salamatiti di Dumoga Moloben, Bogani Amaliye dan Inaliye di Bumbungon,
Bogani Damonegang di Tudu in Babo, Bogani Punu Gumolung di Ginolantungan
dan sdebagainya. Sedangkan Bogani-bogqani wanita seperti: Salamatit dan
Inaliye, kira-kira hidup pada abad XIII dan Inde’Dou’ pada abad XV.
Dapat di kemukakan di sini, hikayat persebaran
penduduk yang berpindah menggunakan perahu yang mendarat di sekitar
muara sungai Ongkag Lombagin dan sungai Sumoit di tempat-tempat yang
kemudian dinamakan bangka’ dan panag. Perahu yang digunkan
adalah sejenis perahu besar yang disebut bangka’ dan perahu yang
lainnya disebut panag. Hikayat ini mempunyai muatan aspek histories yang
sangat vital. Fakta empiris ini, antara lain, dapat menunjukan dan
membenarkan dugaan bahwa di masa purba kala terdapat dua buah danau
besat di pedalaman Bolaang Mongondow. Uraian ini di kutip dari
penjelasan penerjemah buku Dunnebier, Mengenal Raja-raja Bolaang Mongondow(1998:88-90).
Penduduk yang dating dengan menggunakan bangka’ dan panag,
mereka mendiami dataran disekitar dua sungai yang disebutkan diatas.
Karena sering banjir besar, pemukiman bangka; dan panag ter ancam, baik
oleh banjir itu sendiri maupun ancaman gelombang laut. Penduduk pindah
menyelamatkan diri. Sebagian menyusuri pantai dan sebagian yang terdiri
dari beberapa kelompok, memilih mencari tempat yang dirasakan lebih
aman. Dengan bermodalkan keberanian, tekad dan semangat yang tinggi
dengan di pimpim lepala kelompok, mereka mencari pemuliman baru dengan
menyusuri aliran sungai menuju ke timur.
Kelompok-kelompok ini menyusuri sungaiOngkag
Lombagin. Ketika tiba di tempat pertemuan (bersatunya) Ongkag Mongondow
dan Ongkag Dumoga mereka terhenti, karena terjebak dalam hutan lebat
yang dilingkupi barisan petunungan berlapis-lapis yang mengapit kedua
Ongkag ini. Untuk dapat melanjutkan perjalanan, rombongan ini mengadakan
peninjauan sambil menengok keatas (ilumangag), kearah gugusan
pegunungan manakah yang harus di tembus. Ditempat ini pula berdirilah
kampong yang sekarang bernama Langagon.
Perjalanan dilanjutkan mengikuti huku ongkag
Mongondow dan tiba di tempat yang sekarang Desa Solimandungan. Konon,
nama desa itu berasal dari kata “Pinolimanonan”, tolimanon yang
artinya saling menunggu kawan atau anggota rombongan lain yang
tertinggal di belakang. Kemudian kelompok berjalan terus sampai di
tempat yang letaknya di Desa Komangaan sekarang ini dan beristirahat.
Mereka merasa legah dan betah di tempat ini, “Noanga” (kinoangaan), yang
menjelma jadi Desa Komangaan.
Rombongan selanjutnya menembus hutan rimba sambil
memberi tanda dengan parang pada pepohonan yang dilewati, yaitu “Taga”,
tempat yang sekarang di namakan Sinagaan. Taga’ merupakan penunjuk jalan bagi mereka yang berada di belakang.
Setelah berjalan beberapa hari, kelompok ini tiba di
suatu tempat yang sekarang disebut Desa Muntoi. Nama Desa ini berasal
dari kata “Noontoy”, dan bermaknah hasil jerih payah yang terkumpul
selama dalam perjalanan.
Setelah melewati Muntoi, mereka dating ke lembah
kecil yang terbenam di tengah-tengah pegunungan “Motuyobong” atau
“Noilobong”, di tempat pertemuan kali Ongkag dan kali Lobing, di Desa
Lobong sekarang. Dari sini pengembaraan ditengah hutan dilanjutkan
mengikuti lereng “Nogalet” sampai ke atas puncak bukit “Otam”.
Otamon merupakan jenis tumbuhanyang dapat melukai
tangan jika mencabutnya tidak hati-hati. Nama tempat ini sekarang berada
di Desa Otam dan Desa Wangga. Wangga sebelumnya disebut “Ponugalan” dan
berasal dari kata “Tugal” (lubang-lubang kecil) untuk menanam padi
dengan menggunakan sepotong bambu atau kayu. Di Tudu Wangga ini pernah
di temukan perahu yang di gunakan orang pada masa dahulu.
Lambat lain, seiring dengan pertambahan penduduk,
rombongan pengembara ini mencari tempat pemukiman-pemukiman baru. Mereka
menjadi kelompok-kelompok yang besar dengan tempat yang makin terpisah
satu sama lain. Sehingga, munculnya pemimpin-pemimpin kelompok (bogani),
makin menyemarakkan migrasi orang Bolaang Mongondow.
Bahkan lamban laun para bogani itu ,emjelajahi
daratan Mongondow (asl kata: Momondow), yang artinya teriakan-teriakan
panjang saling bersahutan sebagai tanda atau kode agar tidak kehilangan
komunukasi satu sama lain ditengah-tengah daratan hutan belantara yang
luas. Dilembah yang luas ini ditemukan banya kali-kali kecil, pohon sagu
dan pohon dammar yang getah nya dapat dipakai untuk lampu atau
penerangan. Pohon in I dinamakan “Damag-Talong”. Karena itu, dataran
yang luas ini dinamakan :Lopa’ in Mogutalong”. Kini, dikenal sebagai
wilayah Passi dan Lolayan.
Agaknnya, setelah Gumolangit kawin dengan Tendeduata,
dan mendapat anak Dinondong di Huntuk, Baludaa di Bintauna, dia dating
ke Dumoga. Seterusnya, kawin lagi dengan Sandilo di Bumbungon. Orang
tua, kake dan nenek, bahkan leluhur Sandilo, tentu lahir dahulu dari
Gumolangit. Masyarkat Bumbungon serta pemukiman-pemukiman di sekitarnya
seperti Mahag, Tobago, Linggot, Tobagomamang, Siniyow, Dumoga mointok
dan Dumoga moloben, penduduknya sudah berkembang demikian pesat. Akan
tetapi, masi adah generasi yang lebih tua. Mereka seperti yang terdapat
dan hidup di Bunbungon dan sekiternya pada abad sebelum atau sekitar
panjajahan Portugis.
Salah satu bukti bahwa di bumbungon dan sekitarnya
telah berkembang suatu kehidupan masyarakat yang luas, pada saat
pecahnya selaput bayi yang bernama Mokodoludut. Orang-orang yang hiruk
pikuk yang brlarian dating melahat dan gemuruh bunyi permukaan tanah
dilewati kelompok-kelompok manusia dinamakan Mokodoludut, yang artinya
menimbulkan gemuruh. Sebaliknya, bagaimana pertumbuhan keluarga
Gumolangit di Huntuk dan sekitarnya, setelah Silangondo tidak ada lagi
riwayat lanjutannya. Ini berarti bahwa pusat kehidupan masyarakat
Bolalang Mongondow pada wakti itubukanlah di Huntuk, Baludaa Bintauna
dan sekitarnya. Tapi konsentrasi dan pertumbuhan penduduk justru
berkembang di Bumbungon dan sekitarnya. Karena penduduk sudah berkembang
luas, disinilah lahir Raja peertama Bolaang Mongondow itu. Kalau
Gumolangit dan keturunan, baik di Huntuk Baludaa maupun di Bumbungon
Dumoga, hidup dalam tahun 1200-san atau 1300-san, timbul pertanyaan
siapa manusia atau dimana asal usul penduduk Bolaang Mongondow yang
mendahului periode kehidupan generasi Gumolangit.
Menurut pendapat bahwa manusia atau penduduk Bolaang
Mongondow yang hidup lebih awal dari dari masa kehidupan Gumolangit dan
keturunannya, baik di Huntuk maupun di Bumbungon, adalah orang-orang
atau penduduk Bolaang Mongindow yang hidup dimasa dataran Mongondow dan
Dumoga masih berupa dua buah danau yang besar. Penduduk ini adalah
mereka yang menggunakan perahu-perahu yang pernah di temukan di desa
Wangga sekarang.
Dengan argumentasi ini, maka leluhurnya, putri
Sandilo di Bumbungon maupun Gumolangit, bukanlah manusia pertama etnik
Bolaang Mongondow. Manusia-manusia yang hidup dan mendiami Bolaang
Mongondow pada masa dataran Mongondow ( Mogutalong) dan Dumoga masih
merupakan danau, adalah orang-orang yang diperkirakan sebagai
laluhur-leluhur penduduk asli Bolaang Mongondow. Kapan perioda
keberadaan Danau Mogutalong dan Danau Dumoga, akan dapat di perkirakan
setelah ada data terjadinya letusan dahsyat Gunung Ambang pada masa itu.
Dan data ini akan dapat ditemukan dalam buku-bukugeografi dan sejarah.
Selanjutnya, tantang hikayat Tendeduata yang berasal
dari pecahan Bambu Kuning. Karena sifat ceritanya yang bernada
aneh,tentunya diperlukan pemahaman yang rasioanal. Bila di analisis
secara nalar, maka konteks probabilitas yang dapat diterima akal sehat
memperkirakan, Tendeduata sedang mempersembunyikan diri dalam rumpun
Bambu ketika Gumolangit mengambil seruas bambu.
Tentang Tumotoi Bokol dan Tumotoi Bokat, keduanya di
kategorikan sebagai bagian dari manusia pendatang (Imigran). Menurut
sejarah penduduk Indonesia, asal usul mereka atang dari rumpun palae mongoloid
di Indo Cina dan Asia Tenggara. Karena mereka tiba di daratan Bolaang
Mongondow melalui laut, dinamakan Tumotoi Bokol dan Tumotoi Bokat.
Mengenai asal-usul penduduk Bolaang Mongondow banyak
yang berpendapat bahwa mereka beasal dari Filipina, terutama dari pulau
Mindanau. Dugaan ini diperkuat dengan data bahasa (bukan kesamaan
bahasa)antara bahasa tagalong di Filipina dan bahasa Mongondow.
Misaknya, kat-kata yang sama arti dan penggunaanya seperti: loluang (jalan), tondok (pagar), tubig (air), manuk (ayam),
penghulu dan sebagainya. Kemudian, kalau dilihat dari aspek
antropologis, strutur fisik antara orang-orang Mindanaudan Bolaang
Momngondow, hampir tidak ada perbedaan yang menyolok.
Arus pelayaran manusia dari Filipina, khususnya dari
Mindanau di sekitar penjajahan Portugis dan Spanyol baik sebagai nelayan
maupun sebagai bajak laut, masih tetap tinggi hingga abad XV.
Bogani-bogani Inde’ Dou’, Inde’ Dikin dan lainnya, adalah bogani-bogani
yang antara lain, mempunyai tugas utama memberantas perampok dan
perompak dari Mindanau. Sebagai suatu bukyi, saat Tadohe dan pembantunya
mendarat di laut sekitar Desa Togid, pada awalXVI (1600), Inde; Dou’
hampir membunuhnya, karena disangkah perompak dari Mundanau.
Dou’ alias Inde’ Dou’, ketika itu merupakan pemimpin
rakyat adalah seorang wanita yang mewarisi kekuasaan Punu’ Damopolii dan
menguasai wilayah Minahasa Selatan, mulai dari Ratahan – Pontak – Buyat
dan seluruh Kecamatan Kotabunan sekarang.
Penyebaran Penduduk
Menurut riwayat, hubungan Bolaang Mongondow dan
Minahasa sudah terjalin sejak dari masa purba. Puteri Punu’ Mokodoludut,
yang bernama Ginsapondo, adalah perintis pertama yang dating ke
Minahasa dan kemudian merupakan asal keturunan dari beberapa pemimpin
dan tokoh-tokoh di Minahasa. Perpindahan Ginsapondo ke Minahasa, terjadi
pada awal abad XV.
Kemudian menjelang akhir abad XV, Punu; Damopolii
dikenal sebagai cucu Punu’ Mokodoludut, dating ke Minahasa dan kawin
dengan Wulan Uwe Randen yang kemudian disebut Tende in Bulan atau
Tendeduayo’.
Di Minahasa dikenal sebagai manusia perkasa dan
dinamakan Ramopolii. Damopolii banya mengembara ke Minahasa Utara, Siau,
Kema da Likupang. Dalam perjalanan pengembaraan sebagai kebiasaan
orang-orang perkasa di zaman purba, diperkenankan untuk kawin yang di
Mina-hasa disebut Tateon. Asal kat ini, tot berarti
pegang. Nama-nama marga Ramopolii, Damopolii< Polii adalah nama marga
yang kini masih berkembang di Minahasa, Biotung dan Manado.
Punu’ Busisi* adalah putra Punu’ Damopolii. Beliau
mengikuti jejak ayah nya yang banyak mengembara ke Minahasa. Ia kawin
dengan Limbatondo. Puterenya di beri nama Makalalo. Makalalo adalah asal
nama minahasa. Konon, karena neneknya Minahasa. Setelah makalalo
menjadi Punu’ menggantikan ayah nyak, iya kawin dengan puteri Minahasa
Wulan Ganting-ganting dari Mandolang dekat Tateli. NAma-nama Makalalo,
Lalo atau Lalu, adalah marga-marga yang kini tetap hudup di Minahasa dan
daerah-daerah sekitarnya.
Setelah Punu’ Makalao digantikan putranya Punu’
Mokodompit, Mokodonpit kawin dengan Menggeyadi, seorang putrid berasal
dari pulau Lembeh Minahasa, Kotamadya Bitung sejarang. Kemudian
Mokodompit kawin dengan Gogune ke Sangir Talaut sekitar 1580.
Puteranya Tadohe lahir di sini dan kembali ke Bolaang
Mongondow pada 1600. Turunan Mokodompit di Sangir Talaut, kini dikenal
dengan Mokodompis. Kebudayaan kuna antara Bolaang Mongondow dan Sangir
Talaut, dalam beberapa hal, ada kesamaan. Menurut sarasehan Budaya
se-Sulawesi Utara1981, ada kata-kata yang mengandung kemiripan (kognat).
Misalnya kabela (Bolaang Mongondow) dan kawela (Sangir Talaut) untuk alat tempat sirih. Alat kesenian pun ada kesamaan istilah seperti: rambabo, bansi dan tantabua. Tri Tayok
banyak kesamaan dengan tari Gunde di Sangir Talaut. Bahkan mungkin nama
tari Gunde ini di ambil dari nama istri Mokodompit, yaitu Gogunde.
Seorang putra Tadohe. Loloda Mokoagow menjadi Raja
pada tahun 0650-1694. Loloda Mokoagow disebut Raja Bolaang Mongondow dan
Minahasa. Karena, Minahasa berada di bawah kekuasaanya. Loloda Mokoagou
di namakan juga Raja Manado. Bahkan leluhur Raja Loloda Mokoagow pernah
menguasai Desa Bonton di Gorontalo (Valentijn, dalam Dunebier,
1983:27).
Sumber: Lipu'ku in Totabuan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar