Bulan November adalah salah satu momentum sejarah bagi bangsa muslim Palestina. Pada sepertiga terakhir bulan ini, tercatat sejumlah tokoh jihad Palestina yang gugur sebagai syuhada. Izzuddin Al Qassam, pelopor perang melawan Inggris dan Yahudi, wafat pada tanggal 20 November 1935. Pemegang panji jihad selanjutnya, Farahan Sa’di juga syahid pada tanggal 27 November 1937. Kemudian, seorang mujahid Palestina yang memimpin gerakan jihad melawan komunis di Afghanistan gugur syahid pada tanggal 24 November 1989. Masih di bulan November, tepatnya tanggal 24 November 1993, Al Muhandis Imad Aqil, pimpinan bataliyon Izzuddin Al Qassam sebagai sayap militer HAMAS, wafat di Ghaza. Oleh karena itu, bulan November ini merupakan bulan syuhada bagi rakyat Palestina.
Berdasarkan
kajian historis, Palestina memiliki keunikan tersendiri, karena di wilayah ini
telah bermuara tiga agama samawi, yakni Yahudi, Nasrani, dan Islam. Kota
Yerusalem (Al Quds) merupakan tempat suci bagi ketiga agama tersebut. Di
sinilah lletak pertemuan risalah para
nabi yang membawa ajaran wahyu. Kota
ini dilingkari tembok yang sudah berusia
450 tahun, didirikan oleh Khalifah Sulaiman pada masa pemerintahan Turki
Utsmani di abad XVI.
Pertemuan
ketiga agama langit ini, seringkali menimbulkan konflik dan melahirkan
peristiwa-peristiwa besar yang menyebabkan perseteruan berkepanjangan. Dimensi
keagamaan teleh digeserkan oleh praktek-prektek politis yang diwarnai oleh hawa
nafsu keserakahan dan arogansi.
Peradaban
Palestina sebenarnya telah mulai dibangun sejak 40 000 tahun yang silam.
Kedatangan imigran Yahudi ke Palestina untuk pertama kali terjadi pada masa
Nabi Musa. Pada waktu itu, bangsa Yahudi melakukan eksodus, melarikan diri dari
pengejaran Fir’aun dari Mesir. Bangsa ini
telah memiliki tingkat peradaban yang tinggi (dari segi teknologi).
Kekuasaan bangsa Yahudi
di negeri Palestin, mengalami kehancuran ketika bangsa ini mendapat
serangan dari Babilonia. Di samping itu, mereka sendiri mengalami konflik
internal. Hingga akhirnya bangsa Yahudi kalah dan diusir dari tanah Palestina.
Sejak saat itu, bangsa Yahudi mengalami masa diaspora, yakni terpencar-pencar
di berbagai negara di seluruh dunia.
Dalam kondisi diaspora tersebut, orang-orang Yahudi terus
berusaha menyusun kekuatan untuk menguasai kembali Palestina dan membentuk
negara di sana yang pada waktu itu, berada di bawah kekuasaan Turki Utsmani.
Tokoh-tokoh Yahudi yang gencar melancarkan upaya pendudukan Palestina adalah
Mosses Hess (1862), Leo Pinkster (1882), dan Theodore Herzl. Mereka menggagas
gerakan “Kembali ke Bukit Zion”, yang kemudian melahirkan gerakan internasional
yang dikenal dengan nama Zionisme. Mereka sangat bernafsu untuk
membumihanguskan umat Islam di dunia.
Gerakan Yahudi ini mendapat dukungan kuat dari
negara-negara barat, terutama Inggris dan AS. Hal ini akibat lobi-lobi Yahudi
yang mampu mencengkeramkan tangan-tangannya di negeri-negeri sekuler Barat.
Pada
tahun 1917, bangsa Yahudi sempat mendapat
jaminan dari Inggris untuk mendirikan negara di
Palestina. Imigran Yahudi waktu
itu baru mencapai 56.000 orang (sekitar 8% dari warga Yahudi).
Bangsa
Yahudi menghalalkan segala cara untuk bisa menguasai Palestina. Pada
tanggal 14 Mei 1948 dengan penuh
kelicikan, Yahudi memproklamasikan kemerdekaannya, meskipun mendapat kecaman
keras dari bangsa Palestina dan bangsa-bangsa Arab lainnya. Setelah itu, jutaan
rakyat Palestina terusir dari negerinya sendiri dan mengalami kesengsaraan
akibat penindasan dan berbagai tindak kekejaman Yahudi.
Sementara
itu, negeri Palestina telah berubah menjadi negeri jajahan Israel. Bagi kaum
muslim Palestina, hidup di sana bagaikan hidup di dalam penjara. Perlakuan
biadab Yahudi dari mulai pemukulan, penembakan hingga pembantaian sadis mudah
didapati di jalan-jalan. Akhir-akhir ini, dunia diguncang dengan kasus
penembakan tentara Israel terhadap seorang anak berusia 12 tahun, Muhammad
Jamad Aldura dan ayahnya serta puluhan
warga sipil Palestina lainnya. Anehnya, “sang pejuang HAM”, Amerika Serikat,
hanya mengeluarkan pernyataan keprihatinan yang tak lebih sebagai polesan
lipstick belaka. Bahkan AS tampil sebagai pelindung Israel dengan menolak
usulan Palestina dan Liga Arab untuk mengeluarkan pernyataan kutukan terhadap aksi
IIsrael. Lagi-lagi, AS melakukan standar ganda terhadap dunia Islam.
Pemerintah
Israel sejak awal berdirinya, telah melakukan westernisasi terhadap bangsa
Palestina. Nilai-nilai materialisme Barat yang dibawa hasil diaspora mereka
tidak sesuai dengan nilai-nilai spiritual keagamaan asli milik bangsa
Palestina. Oleh karena itu, terjadilah antagonisme (pertikaian) antara kedua
belah pihak.
Perlawanan
demi perlawanan terus dilakukan oleh bangsa Palestina untuk meraih kembali
hak-hak mereka yang dirampas penjajah Israel. Bermacam cara telah
ditempuh, baik melalui perlawanan senjata maupun cara diplomasi. Namun
upaya-upaya tersebut belum membuahkan hasil kemerdekaan bagi bangsa Palestina.
Di bawah
pendudukan Israel, bangsa Palestina terus-menerus mengalami penderitaan. Mereka
banyak mengalami kesulitan hidup. Tidak sedikit korban berjatuhan. Anak-anak
banyak terlantar kehilangan orang tuanya. Kondisi mereka sangat buruk, akibat
kebijakan pemerintah Israel yang sangat mengekang dan menekan mereka.
Tentu saja, bangsa Palestina
merasakan kekecewaan yang teramat dalam. Apalagi melihat upaya diplomasi PLO
yang bertindak lemah dan kompromistis dengan Israel. Perundingan-perundingan
antara
PLO-Israel hanya melambungkan mimpi-mimpi indah dan isapan jempol belaka. Belum
ada realisasi yang berarti. Israel terus-menerus berkhianat.
Perlawanan
rakyat sipil Palestina mulai bangkit pada tahun 1980-an. Kebangkitan ini muncul
seiring dengan mulai maraknya aktivitas keagamaan dari umat Islam di wilayah
itu. Gerakan Islam ini menjadi perjuangan alternatif bagi bangsa Palestina,
setelah ideologi sosialisme dan nasionalisme menjalani kemunduran.
Puncaknya,
rakyat sipil menggalang kekuatan untuk melawan imperialis Yahudi dengan
melancarkan gerakan Intifadhah pada tahun 1987. Gerakan ini memberikan nuansa
baru bagi perjuangan Palestina dan
menjadi momentum bagi kemunculan HAMAS (Harakah Al Muqawwamah Al Islamiyyah),
sebuah Gerakan Perlawanan Islam di Palestina.
Gerakan
HAMAS ini dipimpin oleh seorang ulama kharismatis Palestina, Syekh Ahmad Yasin.
Mereka gigih berjuang untuk meraih kembali kemerdekaan Palestina, karena
diyakini berdasarkan perspektif idealis Islam bahwa negeri itu milik kaum
muslim yang wajib direbut kembali, sebagaimana Shalahuddin Al Ayubi berhasil
membebaskan Al Quds dari cengkeraman kolonialis Yahudi pada masa Perang Salib.
Aksi HAMAS
ini tentu saja berbeda bahkan dianggap berseberangan dengan PLO, pimpinan Yasser Arafat. Arafat
malah sempat menghimbau agar HAMAS menghentikan aksi Intifadhahnya. Selain itu,
Arafat juga sempat melicinkan jalan Israel untuk menangkap pimpinan HAMAS,
Ahmad Yasin, hingga beliau mendekam di tahanan Israel.
Namun
sejauh ini, langkah diplomasi PLO belum memberikan hasil signifikan. Meskipun
upaya mereka hampir membuahkan hasil pada bulan Mei 1999 lalu dengan janji
kemerdekaan dari Israel, tapi karakteristik khas Yahudi yang selalu melanggar
janji menyebabkan kemerdekaan Palestina tersebut ditunda. Begitupula dengan
rencana PLO memproklamirkan kemerdekaan Palestina, pada tanggal 13 September
2000. Rencana tersebut kandas akibat adanya tekanan-tekanan dari luar yang
tidak menginginkan Palestina merdeka.
Kondisi
ini menyebabkan banyak rakyat Palestina beralih mendukung gerakan perlawanan
secara islami dari HAMAS. Sebagaimana yang termaktub dalam Piagam HAMAS bahwa
perjuangan melawan Israel
hanya bisa dilakukan dengan jihad.
Gerakan
HAMAS melakukan aktivitas yang erat dengan ajaran agama Islam. Masjid dijadikan
sebagai basis perjuangan dan tidak hanya dijadikan sebagai tempat ibadah ritual
belaka, akan tetapi juga digunakan sebagai tempat aktivitas sosial politik.
Gerakan ini mendapat dukungan dari para ulama, tidak hanya dari dalam negeri
tapi juga dari luar negeri.
HAMAS
mengambil filosofi perjuangan serta dasar perjuangan dari ajaran agama Islam.
HAMAS tidak memisahkan perjuangan politik dengan agama. Berbeda dengan
pandangan kelompok nasionalis sekuler yang lebih moderat. HAMAS tidak menerima
sikap PLO yang menyetujui mengikuti perundingan dunia, seperti yang terjadi
pada bulan Oktober 1991 di Madrid, Spanyol dan Perundingan di Oslo tahun 1993.
Pada
mulanya, PLO memiliki sikap yang sama dengan gerakan Islam dalam menghadapi
penjajahan Israel. Namun dalam
perkembangannya, PLO menggunakan strategi perjuangan damai. Sudah pasti hal ini
disambut baik oleh negara-negara Barat.
Landasan
HAMAS melakukan gerakan anti diplomasi adalah lebih berdasarkan kepada masalah
aqidah. Dalam Kitab Suci Al Qur’an
banyak diterangkan bagaimana karakteristik dan kehendak Yahudi. Meraka memiliki
sikap memusuhi Islam dan sikap penentangan terhadap setiap ajaran wahyu. Telah
banyak nabi-nabi terbunuh di tangan orang-orang Yahudi.
Berdasarkan
fakta sejarah demikian, maka HAMAS tidak
ragu lagi untuk melawan Israel dengan jalan jihad fi sabilillah menghadapi Yahudi
yang selalu licik dan tidak pernah amanah terhadap perjanjian yang telah
disepakati.
Sejumlah
pengkhianatan Yahudi Israel telah tercatat dalam lembaran sejarah
Palestina. Misalnya, dalam situasi
terakhir tahun 1999 ini, Yahudi kembali berkhianat dengan membatalkan
Perjanjian Oslo, 14 Mei 1993. Dalam
Perjanjian itu telah disepakati bahwa Palestina akan diberikan kemerdekaannya
pada tanggal 4 Mei 1999. Tapi, kenyataannya Israel kemudian menolak
pendeklarasiannya dengan dalih Israel akan menghadapi pemilu. Arafat telah
ditekan oleh Israel untuk menunda deklarasi Palestina merdeka.
Selain itu,
masih banyak bentuk pengkhianatan Israel terhadap Palestina. Diantaranya adalah
pengkhianatan terhadap Perjanjian Wye River, Oktober 1993, Perjanjian Camp
David, dll.
Hingga
sekarang belum ada perkembangan signifikan dari perundingan PLO- Israel. Janji
demi janji Israel hanya menambah rentang kesengsaraan bangsa Muslim Palestina.
Namun perjuangan terus dilakukan hingga cita-cita kemerdekaan tercapai.
Bangsa-bangsa
muslim di dunia hendaknya melihat kondisi penderitaan berkepanjangan bangsa
muslim Palestina tersebut sebagai realitas umat yang harus turut dibantu
perjuangannya bukan malah sebaliknya. Sikap lemah dan segala bentuk kooperatif
lainnya yang hanya akan memberikan keuntungan bagi bangsa kolonialis
imperialis Yahudi tidak bisa diterima.
Hal ini akan berarti pengkhianatan terhadap perjuangan saudara-saudara muslim
kita di Palestina.
Agus Santoso: Pemerhati
Dunia Islam, FSII Bandung.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar