Pengaruh
luar
Pengaruh
luar mulai terasa dengan kedatangan bangsa asing seperti Spanyol, Portugis,
Tiongkok, Inggeris, Belanda dan lain-lain dengan maksud untuk berdagang.
Anggota masyarakat terutama yang bertempat tinggal di pesisir pantai mulai
mengenal dagang dalam arti tukar menukar benda dengan benda, seperti :
tembikar, kain laka, sikayu, benda logam tembaga, topi besi, mata tombak dan
lain-lainditukar dengan hasil hutan dan hasil tambang seperti : damar, rotan,
emas dan sebagainya. Suatu dongeng yang dikenal oleh masyarakat sampai kepada
anak-anak tentang pendatang bermata sipit bernama Pak Hong yang tinggal dalam
sebuah lubang di pesisir selatan. Pak Hong-lah yang membawa piring tembikar
dan alat-alat lain yang ditukar dengan emas oleh anggota masyarakat. Anggapan
ornag bahwa Pak Hong datang dari dunia di bawah bumi melalui sebuah lubang,
sebenarnya adalah gua tempat Pak Hong menyimpan barang tembikar.
Lahirnya
Punu’ Molantud
Bogani
suami isteri Kueno dan Obayow dalam usaha mereka pergi menangkap ikan di
sungai, tidak berhasil. Namun mereka senag juga, setelah mereka memungut
sebutir telur di atas kapar (timbunan ranting-ranting kayu) yang sedang
hanyut di sungai. Secara kebetulan mereka melihat seekor burung duduk yang
baru saja terbang dari kapar itu, sehingga mereka menganggap bahwa telur itu
adalah telur burung yang baru saja terbang. Benda yang dianggap telur itu,
ternyata adalah kantung bayi yang lahir masih terbungkus dari rahim ibunya.
Karena kelahiran itu dianggap aneh, maka kantung itu diletakkan oleh orang
tuanya di atas kapar yang sedang hanyut di sungai. Yang kemudian dipungut
oleh Kueno dan Obayow. Oleh karena anak yang lahir itu dianggap menetas dari
telur burung, maka para bogani, pimpinan seluruh kelompok masyarakat
bersepakat untuk mengangkat anak itu menjadi Punu’ Molantud, yaitu pimpinan
tertinggi atas seluruh kelompok masyarakat yang tersebar di daerah Bolaang
Mongondow. Anak itu diberi nama Mokodoludut, yang berarti menyebabkan bunyi
banyak kaki yang berjalan (nodoludut = bunyi gaduh kaki banyak yang
berjalan). Banyak orang yang datang melihat bayi yang lahir luar biasa itu,
telah turun hujan lebat disertai bunyi guntur sambung menyambung dan
halilintar sambar menyambar.
Sebagai
catatan perlu diinformasikan bahwa pemberian nama kepada bayi pada masa
dahulu, disesuaikan dengan situasi atau peristiwa terjadi bertepatan dengan
kelahiran bayi itu, karena penduduk belum mengenal huruf, sehigga belum ada
pencatatan tanggal kelahiran. Anak yang lahir bertepatan dengan suatu
peristiwa besar diberi nama Ododai = bersamaan. Anak yang
sakit-sakitan sejak lahir diberi nama : Ki Napi’I = sakit-sakitan.
Yang bertubuh kecil diberi nama : Kandeleng = si kecil; yang lahir
ketika salah seorang dari orang tuanya meninggal, diberi nama : sinala’an
= ditinggalkan. Nama benda, tumbuhan, hari, hewan dan sebagainya juga dipakai
untuk memberi nama bayi, misalnya : Kompe’ = bakul; Kobisi’ =
bakul besar; Apat = bengkalai; Longgai = kapar; Uoi = rotan;
Boyod = tikus; Bonok = rumput.
Mokodoludut
adalah punu’ Molantud yang diangkat berdasar kesepakatan
seluruh bogani. Dalam sejarah pemerintahan di Bolaang Mongondow,
Mokodoludut tercatat sebagai raja (datu yang pertama di Bolaang Mongondow,
walaupun penggunaan istilah datu atau raja mulai dikenal sejak raja Tadohe
(Sadohe) yang memerintah pada tahun 1602 karena pengaruh istilah luar, ratu,
datu atau latu, yang berarti raja.
Sebelum Tadohe, setiap pimpinan tertinggi pemerintahan yang diangkat dari keturunan Mokodoludut selalu digelar Punu’ Molantud atau Tule Molantud atau Tomunu’on. Sejak Mokodoludut memerintah, masyarakat mulai mengenal kesenian antara lain seni sastra, yaitu itu-itum, semacam do’a yang diucapkan misalnya pada pelantikan Punu’ Molantud atau pejabat tinggi lainnya. Juga Odi-odi, semacam sumpah, serta jenis vokal antara lain totampit, yaitu sastra bermelodi yang dilagukan oleh para bogani atau oleh penduduk yang pergi ke rantau memasak garam, ke hutan mencari damar dan lain-lain, karena mereka harus menempuh karak jauh dengan berjalan kaki.
Salahsatu
sastra lagu aimbu yang dinyanyikan oleh orang tua angkat Mokodoludut, yaitu
Kueno dan Obayow adalah :
Ki Inalie no puyut = Inalie yang memungut
Ki
Amalie notompunuk = Amalie yang
memangku
Notakoi
kon loto lanut = dimasukkan dalam lanut
Pitu
no singgai no uput = tujuh hari genap
Dinongog
mai nogolotup = terdengar bunyi meletus
Sinarap
bo sinondudut = dilihat dan diteliti
Na’anta
umatbi’ alus = ternyata mahluk halus
Nobiag
moyutu-yutuk = hidup tubuhnya kurus
A
mongula mokitayuk = ingin diobati
(monayuk)
Moki
aimbu no uput = dengan cara aimbu lengkap
Na’a
bo inaidan no uput = kini selesai
dikerjakan
Tangoimu
ing ki Mokodoludut = namamu adalah
Mokodoludut.
Tadohe
menjadi Datu ke-8
Sejak
Tompunu’on pertama sampai ke-7, yaitu Mokodoludut, Yayubangkai, Damopolii
(Kinalang), Busisi, Sugeha, Mokodompit, Mokoagow, keadaan masyarakat Bolaang
Mongondow semakin maju dengan adanya pengaruh luar, walaupun hubungan dengan
bangsa asing itu barulah hubungan perdagangan (tukar menukar benda).
Perubahan total mulai terlihat sejak Tadohe, putra Mokoagow mulai menjadi
Tompunu’on yang oleh pengaruh pedagang Belanda dirubah istilah Tompunu’on
menjadi Datu (Raja). Tadohe dikenal seorang Datu yang cakap, sehingga pada
saat pemerintahannya, terjadi perubahan dalam susunan pemerintahan dan kemasyarakatan.
Tadohe berhasil mempersatukan seluruh rakyat yang hidup berkelompok dengan
boganinya masing-masing, mengadakan musyawarah di tempat kediamannya di tudu
im bakid, sekitar dua kilo meter di utara Kotamobagu sekarang. Dibentuk
sistem pemerintahan baru. Hubungan antara kelompok masyarakat diperbaiki
dengan membuka jalan. Duku atau pedukuhan, desa muali diatur. Seluruh
kelompok keluarga dari Bolaang, Mongondow (Passi dan Lolayan), Kotabunan,
Dumoga, disatukan menjadi Bolaang Mongondow. Mereka mulai mengenai mata uang
real, doit, sebagai alat perdagangan. Pimpinan desa dipilih oleh rakyat.
Mulailah diatur sistem bercocok tanam dengan mulai dikenalnya padi, jagung
dan kelapa yang dibawa oleh bangsa Spanyol pada masa pemerintahan Mokoagow,
ayah Tadohe. Tadohe mengadakan penggolongan dalam masyarakat, yaitu
pemerintahan (Kinalang) dan rakyat (paloko’). Paloko’ harus patuh dan
menunjang tugas Kinalang, sedangkan Kinalang mengangkat tingkat penghidupan
Paloko’ melalui pembangunan disegala bidang.
Setiap desa ditandai dengan adanya sigi, yaitu semacam kuil tempat penyembahan kepada Ompu Duata (Yang Maha Kuasa). Didalam sigi dapat disimpan piring tua atau benda antik lainnya yang berasal dari para leluhur. Pada waktu monibi (upacara pengobatan desa, penyembahan kepada roh leluhur atau pengorbanan), seluruh anggota masyarakat turut serta, dengan mengorbankan babi, kambing betina dan ayam yang darahnya dipercikkan kepada tangga sigi. Sigi juga merupakan tempat penghapusan dosa atau kesalahan bagi pesakitan, bagi pelanggar adat tertentu, sebagai penghapus aib. Dapatlah dikatakan bahwa sigi merupakan suatu lukisan kesatuan desa. Sebagai kesatuan masyarakat hukum, ada keluarga yang mengangkat orang-orang tua yang bertugas menyelesaikan perkara-perkara dalam desa, mengatur pemindahan hak, mengatur pertunangan, perkawinan dan juga sebagai penasehat dalam tugas-tugas pemerintahan yang disebut : guhanga. Bahkan kepala desa (sangadi, bobato, kimalaha) dalam memutuskan sesuatu terlebih dahulu minta petunjuk dan pendapat dari para guhanga. Tadohe membagi tingkatan (kasten) dalam masyarakat atas enam tingkat atau golongan, yaitu : mododatu (kaum ningrat), kohongian, simpal, nonow, tahig, dan yobuat. Kaum simpal adalah pemegang penjaga keamanan, tahig adalah golongan pekerja dan yobuat adalah golongan bawah.
Campur
tangan Belanda dalam pemerintahan
Pada
tanggal 1 Januari 1901, Belanda secara paksa bahkan kekerasan masuk daerah
Bolaang Mongondow melalui Minahasa selatan, setelah usaha mereka memasuki
daerah Bolaang Mongondow melalui laut tidak berhasil. Di bawah pimpinan
Controleur Anton Cornelius Veenhuizen bersama sepasukan prajurit memasuki
Bolaang Mongondow, yaitu pada masa pemerintahan Raja Riedel Manuel Manoppo.
Namun rakyat memberontak melalui pimpinan seorang bernama Hatibi Dibo
Mokoagow yang memotong tiang bendera Belanda yang dipancang di halaman istana
raja di Bolaang. Juga tiang bendera Belanda yang didirikan di pelabuhan
Lombagian (Inobonto) dipotong oleh Hatibi Dibo dan kawan-kawannya. Rakyat
tidak setuju dengan campur tangan asing dalam pemerintahan. Mereka pada saat
itu telah memiliki jiwa patriotik. Tahun 1904 Hatibi Dibo berhasil ditangkap
oleh Belanda lalu ditembak. Sekitar tahun 1903-1904 perlawanan diadakan oleh
sangadi Eman dari Pontodon. Perlawanan dipatahkan oleh Belanda tapi rakyat
masih tetap mengadakan perlawanan (terkenal dengan perang Pontodon). Akhirnya
karena tidak setuju dengan tekanan-tekanan Belanda itu, penduduk Pontodon dan
bilang banyak yang meninggalkan kampung halamannya, menuju ke pantai utara
(Desa Tanamon), ke Minahasa selatan (Desa Toraut), ke pantai selatan (Desa
Kayumoyondi’). Pada tahun 1904 diadakan perhitungan jiwa penduduk Bolaang
Mongondow dengan 41.417 jiwa dan pria pekerjanya 9.166 orang.
|
Sumber: JAWA LIBERIA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar