Sabtu, 23 November 2013

MARGA-MARGA RAJA (MODODATU) BOLAANG MONGONDOW

Gambar: Rumah Adat Bolaang Mongondow "BOBAKIDAN"

Fam-Fam(marga-marga) Mongondow yang notabennya adalah fam-fam Mododatu atau marga-marga para raja Bolaang Mongondow yang telah dibuktikan dengan berbagai data-data, literatur, kajian-kajian, dan daftar silsila keturunan raja-raja Bolaang Mongondow dari berbagai sumber adalah Fam-Fam sebagai berikut :

GUMALANGIT; GINSAPONDO atau Tumanurung; PONDADAT(ayah kandung dari Raja Ponamon) atau leluhurnya(kakeknya) Raja Paputungan, dll.; TAMBARIGI; GOLONGGOM; GINUPIT; YAYUBANGKAI; PONAMON; MAMONTO; PAPUTUNGAN; KOLOPITA; BUSISI; SIMBALA; DAMOKIONG; BAHANSUBU; LOBANSUBU; DOLOT; GINOGA; DATUELA; DAMOKIONG; DAMOPOLII putranya Yayubangkai; DAMOPOLII putranya Paputungan; DABIT; BANGKIANG; MAKALALAG; MAKALALO; MALASAI; MALAH; MOKOAGOW; LOMBAN; DUWATA’ atau DUATA’; BONDE; DAKOTEGELAN; KOINSING; MOKOAPA; MOKODOMPIT; KOBANDAHA; KUNSI’; PINUYUT; BANGOL(dari jalur keturunan Mamonto); MANGGOPA; PANGGULU; MAKALUNSENGE; MOKOTOLOI; POLO; PUDUL; MANOPPO atau MANOPO, beserta keturunan-keturunannya yang tidak dapat disebutkan satu persatu semuanya adalah keturunan RAJA LOLODA MOKOAGOW ATAU DATU BINANGKANG DAN SERING DISEBUT KI MOKOAGOW ATAU KI ABO’ MOKOAGOW, dimana fam-fam tersebut secara geneologi menunjukan keturunan pewaris darah raja-raja Mongondow atau golongan Mododatu yaitu yang berhak menjadi raja Bolaang Mongondow berdasarkan garis keturunan secara “PATRILINEAL (Garis keturunan yang ditarik dari pihak ayah secara turun temurun)” dalam setiap pengangkatan Raja-Raja Bolaang Mongondow atau Para Datu Binangkang(Raja-Raja Loloda Mokoagow) berdasarkan hukum adat atau hukum tua(Lihat W. Dunnebier tahun 1984 halaman 21 baris ke-15 kata pertama sampai baris ke-16 kata ke-3) berbunyi :

“PENGANGKATAN RAJA SENANTIASA AKAN DIPILIH DARI PIHAK PRIA KETURUNAN RAJA-RAJA” yang mana kesemua fam-fam yang telah disebutkan di awal tulisan ini beserta keturunan-keturunannya berdasarkan Patrilineal adalah semuanya mewarisi DARAH MODODATU(darah keturunan para raja Bolaang Mongondow) karena kesemuanya adalah keturunan PARA PUNU’ MOLANTUD MOKODOLUDUT ATAU RAJA-RAJA LOLODA MOKOAGOW/ PARA DATU BINANGKANG SECARA PATRILINEAL{pihak-pihak yang berhak dirajakan atau pewaris tahta dan berhak memakai simbol-simbol raja seperti Golomang, kulintang(alat-alat musik tertentu) dan atribut-atribut Mododatu lainnya} dan lain-lain sebagai tanda atau atribut wajib yang digunakan oleh kaum raja atau keturunan Mododatu yaitu Golongan Raja yaitu garis keturunan secara patrilineal yang telah diwarisi dari Para Punu’ Molantud Mokodoludut, seperti Adat Pernikahan/Perkawinan, Pesta, dan pada Upacara Adat Kematian pada keluarga keturunan raja atau fam-fam/marga-marga kaum mododatu yang telah disebutkan di awal tulisan ini, adalah sebagai berikut :

Di rumah orang yang meninggal dipasang ARKUS yang terbuat dari kain putih(pusi’= menyerupai ukuran bendera berukuran sedang yang dipasangkan pada sebuah kayu) yang secara utuhnya berupa hiasan yang terbuat dari daun enau muda atau janur kuning yang dibentuk menjadi lengkungan seperti busur pada sisi di samping bangun kerucut tersebut dan pada sisi yang lain (pada bangun kerucut )tersebut dibentuk sedikit agak melengkung yang terdiri dari empat lengkungan yang terbuat dari empat batang daun enau atau janur kuning dan masing-masing belahan ditempatkan pada empat sisi dengan empat tiang yang mana yang ke empat tiang tersebut terbuat dari bahan batang bambu dan secara keseluruhannya bangun-bangun tersebut menyerupai gabungan antara bangun limas yang dipasangi tiang bambu atau “MATUBO ATAU DENGAN PENAMAAN LAIN DI WILAYAH MONGONDOW LAINNYA UNTUK ACARA KEDUKAAN DAN TOIBOI ATAU DENGAN PENAMAAN LAIN DI WILAYAH MONGONDOW LAINNYA” untuk acara pesta pernikahan keturunan raja/ mododatu, pesta penjemputan tamu agung yaitu keturunan mododatu/ kaum raja seperti fam-fam atau marga-marga yang disebutkan dalam tulisan ini) dengan bangun kerucur sebagai tempat pemasangan arukus atau selembar kain putih polos (pusi’) yang menyerupai ukuran bendera dan dipasangkan di puncak bangun kerucut tersebut di bagian paling atas pada gabungan kerangka bangun-bangun tersebut, yang ditempatkan di depan rumah (menyerupai posisi gapura dijalan masuk di depan rumah)pihak atau keluarga yang berduka, dan sebagai pengganti sehelai kain putih polos dalam acara kedukaan tersebut maka pada pesta pernikahan/perkawinan dan lainnya digunakan{TOIBOI atau dengan penamaan lain di wilayah mongondow lainnya untuk acara kedukaan (seperti MOTUBO atau dengan penamaan lain di wilayah mongondow lainnya untuk acara kedukaan ) untuk acara pesta pernikahan keturunan raja/ mododatu, pesta penjemputan tamu agung yaitu keturunan mododatu/ kaum raja seperti fam-fam yang disebutkan dalam tulisan ini} beberapa jenis bunga dengan tangkainya seperti yang antara lainnya : Bunga Dayou, Bunga kirisan, Bunga Dalia, Daun Toba’ang yang terbaik beserta tangkainnya, dan buah kolapipi yaitu kuncup bakal biji kelapa yang masih mudah dan membentuk seperti tangkai padi, lalu disatukan dengan diikat sebagai pengganti sehelai kain putih polos tersebut, dan dari semua bunga dan daun-daunan tersebut yang terpokok adalah “BUNGA DAYOW dan BUNGA TOBA’ANG” karena di zaman Punu’ Molantud Mokodoludut juga secara turun-temurun sudah lama digunakan untuk menghormati keturunan-keturunanya yang berhak mewarisi kedudukan raja yang dikenal dengan sebutan mododatu yaitu fam-fam yang telah diuraikan di awal tulisan ini dan berhak menggunakan nama “ABO’“ di awal nama untuk keturunan-keturunan dari pihak pria dan “BUA’“ di awal nama untuk keturunan-keturunannya yang wanita, dan untuk Adat Pernikahan/Perkawinan, Pesta, dan pada Upacara Adat Kematian pada keluarga keturunan raja atau fam-fam/marga-marga kaum mododatu(fam-fam yang telah disebutkan di awal tulisan ini) diiringi pula dengan memainkan alat musik seperti “KULINTANG” yang terbuat dari logam atau kuningan yang utama terbuat dari kuningan yang terdiri dari 5 sampai 7 buah mungmung atau gong yang berukuran kecil berderet dilengkapi dengan gendang 1 atau 2 buah, golantung atau gong yang berukuran besar 1 buah dan dimainkan oleh lebih dari 1, 2 orang atau lebih.

Adapun kegiatan dan tradisi ini sudah dilaksanakan secara turun temurun sejak dari zaman Raja-Raja Loloda Mokoagow = Para Datu Binangkang atau Para Punu’ Molantud Mokodoludut(Raja Tertinggi Mokodoludut) sebelum abad XIII Masehi. Tetapi sayangnya penamaan gelar Mododatu dan atribut-atribut kebangsawanan Mododatu tersebut dalam kenyataannya sering dipakai oleh golongan yang bukan keturunan raja atau keturunan golongan “Raja”(Mododatu) dan diragukan atau bukan keturunan Mododatu kerajaan Bolaang Mongondow dan malah sebaliknya keturunan-keturunan asli Mododatu seperti marga-marga yang telah disebutkan di awal tulisan ini lewat penjelasan sejarah secara sepihak oleh W. Dunnebier dan keturunan Tadohe’ yaitu dalam pengkultusan Tadoheisme lewat mis information dalam sejarah raja-raja Bolaang Mongondow tanpa meninjau sejarah kerajaan Bolaang Mongondow yang holistik dan konfrehensif oleh keturunan Tadohe’ dalam faham Tadoheisme atau Tadohenisasi dalam sejarah kerajaan Bolaang Mongondow seolah-olah tidak boleh menggunakan atribut-atribut tersebut yang seharusnya gelar tersebut yaitu gelar Abo’ dan gelar Bua’ sesuai dengan “Aturan tua atau hukum adat kerajaan Bolaang Mongondow sejak dari zaman purba sampai raja terakhir tahun 1950 yang berhak disandang dan digunakan oleh pihak-pihak seperti fam-fam atau marga-marga yang sudah ditampilkan dan disebutkan di permulaan tulisan ini”

Adapun Mobakid yang dilaksanakan di eranya Tadohe sama seperti yang diadakan di era raj-raja Bolaang Mongondow jauh atau sebelum periode Tadohe’(1661-1670 M). Kekacauan penggunaan gelar “ABO’“ dan gelar “BUA’“ dan atribut-atribut golongan raja ini diakibatkan karena secara “PATRILINEAL(Garis keturunan yang ditarik dari pihak ayah)” dalam pengangkatan raja-raja Bolaang Mongondow dari zaman purba sampai dengan raja terakhir kerajaan Bolaang Mongondow yaitu Raja H. J. C. Manoppo berdasarkan “HUKUM ADAT ATAUPUN HUKUM TUA” yang selama ini dalam penulisan sejarah dan hikayat raja-raja Bolaang Mongondow telah sengaja dihapuskan, dihilangkan, diplintir, dipotong-potong, dibengkokan, dikaburkan atau juga dikusutkan = kusut = kekacauan = Konfusi, dibelokkan, tidak dijelaskan secara konfrehensif dan holistik, diplesetkan, lalu didaulat tidak ada, dan lain sebagainya secara sengaja oleh W. Dunnebier beserta para penguasa dan sebagian pemuka atau tokoh adat yang mempunyai keturunan dari luar daerah Bolaang Mongondow pada pada saat itu yang berlebel “tgl. 14 hari bulan ke-sembilan tahun 1849” yang mana hanya membahas mengenai status golongan Kohongian, Simpal, Tahoq, Yobu’at, Nonow, dan khusus golongan Raja atau Mododatu tetap sesuai dengan Aturan Tua yaitu Pengangkatan Raja senantiasa akan dipilih dari pihak pria keturunan Raja-Raja”(adapun Amandemen tersebut selanjutnya tidak berlaku lagi karena bertentengan dengan hukum murni atau hukum tua kerajaan Bolaang Mongondow yaitu “dalam pasal 15 dimana dikatakan bahwa semua anak-anak ikut golongan pihak bapak”) kembali diluruskan di era pemerintahan Raja D. C. Manoppo dalam W. Dunnebier tahun 1984 halaman 81 baris ke-25 kata pertama sampai baris ke-30 kata ke-2 berdasarkan hukum tua atau aturan tua yang mana Amandemen “tgl. 14 hari bulan ke-sembilan tahun 1849” oleh kelompok yang mengincar jabatan yang kebetulan dekat dengan sumbuh kekuasaan. Hal hal ini dibenarkan oleh W. Dunnebier sendiri(Lihat W. Dunnebier tahun 1984 halaman 72) yang mengatakan bahwa Amandemen yang berlebel “tgl. 14 hari bulan ke-sembilan tahun 1849” yang berbunyi :

“…..Pasal-pasal disebut(Tambahan penulis berdasarkan data yang ada = lebel “tgl. 14 hari bulan ke-sembilan tahun 1849”), yang saling berlawanan, pendapat penulis(W. Dunnebier) juga dapat dianggap sebagai suatu usaha percobaan untuk mengadakan perobahan terhadap aturan-lembaga tertua, justru beberapa pihak mempunyai kepentingan yang sangat besar artinya”.

Seperti dalam penulisan sejarah ada sekelompok orang dan keturunan tertentu merasa dirugikan dengan tulisan sejarah sehingga mereka berusaha melakukan pemolesan untuk menghindari catatan sejarah yang merugikan leluhur mereka atau membongkar keturunan asli mereka seperti penulisan penghapusan sejarah tentang asal keturunan dari suku luar atau melakukan pemolesan sejarah dengan memutar balikan fakta sejarah masa lalu guna mengikuti keinginan mereka yaitu suatu penulisan yang tidak objektif misalnya yang paling nyata adalah penulisan prosesi pengangkatan Raja Laurens Cornelis Manoppo yang sengaja dikaburkan oleh kelompok tertentu dapat kita lihat bersama dimana dalam suksesi pemelihan raja di era pasca meninggalnya Raja D. C. Manoppo tahun 1927 yang dimenangkan oleh Raja Laurens Cornelis Manoppo{Putra langsung dari Raja D. C. Manoppo dengan Boki’ Hagi Mokoagow putrinya Presiden Raja Luri Mokoagow(Cucu langsung dari Raja Cornelis Manoppo) yang memenuhi secara “Fit And Proper Test”} yang mana salah satu pesaing utamanya yaitu Jogugu Abram Patra Mokoginta atau dikenal dengan Jogugu A. P. Mokoginta adalah mewarisi keturunan Raja Eyato Puluhulawa(dari Gorontalo/ bukan Golongan Mododatu Kerajaan Bolaang Mongondow) atau ayah kandungnya Dodaton{kakeknya Mokoginta(asal usul marga Mokoginta) atau juga asal usulnya Jogugu A. P. Mokoginta secara patrilineal}yang dalam bukunya W. Dunnebier tahun 1984 pada bagian LAMPIRAN I berusaha dikaburkan, diplesetkan lalu dikultuskan oleh penterjemah bukunya W. Dunnebier tahun 1984 tersebut untuk mengaburkan sejarah raja terpilih pada waktu itu tetapi walaupun begitu masih bisa kita bedakan lewat berbagai daftar-daftar silsila keturunan Raja-Raja Bolaang Mongondow secara patrilineal(berdasarkan beberapa penuturan dari keturunan Mokoginta tentang asal usul marga Mokoginta adalah berasal dari Raja Eyato Puluhulawa = dari Gorontalo = atau ayahnya Dodaton/ kakeknya Mokoginta = asal usul marga Mokoginta yang dituturkan oleh beberapa tokoh masyarakat keturunan Mokoginta kepada penulis).

Dengan begitu dapat menjelaskan kepada kita yang mana Mododatu dan yang mana bukan Mododatu dan dicocokkan dengan data-data sejarah kerajaan Bolaang Mongondow yang ada dan hal ini antara lainnya dapat kita lihat dalam bukunya W. Dunnebier tahun 1984 pada bagian LAMPIRAN I halaman 106 pada baris ke-20(dua puluh) kata ke-7(tujuh) sampai dengan baris ke-24(dua puluh empat) kata pertama yang berbunyi :

“……,akan tetapi mendapat tantangan berat dari petugas-petugas Belanda dan beberapa pengemuka-adat setempat yang diam-diam dipelopori oleh W. Dunnebier(Tambahan penulis = W. Dunnebier berperan sebagai cendikiawan atau konsultan yang dipercaya oleh kerajaan Bolaang Mongondow), dengan alasan tidak berhak menjadi Raja karena keturunan,………..”(Lihat W. Dunnebier tahun 1984 halaman 21 Hukum Adat atau Aturan Tua tentang pengangkatan Raja-Raja Kerajaan Bolaang Mongondow yang berlaku sejak Punu’ Molantud Mokodoludut yang berbunyi : “Pengangkatan Raja senantiasa akan dipilih dari pihak pria keturunan Raja-Raja”). Dan hasil plesetannya dalam W. Dunnebier tahun 1984 baris ke-29(dua puluh sembilan) kata ke-5(kelima) sampai dengan baris ke-30(tiga puluh) kata ke-7(tujuh) yang berbunyi :

“……(lihat tanda nomor @+33) diatas ini. Jelas, bahwa alasan tersebut dibuat-buat saja;……….”. juga contoh lainnya antaranya yaitu sejarah tentang asal-usul bangsawan-bangsawan Bolaang Mongondow hanya berasal dari Tadohe’(Sadohe’) dan Abo’ Loloda Mokoagow yaitu ayah kandung dari Raja Jacobus Manoppo yang juga bergelar Raja Loloda Mokoagow dan lain sebagainya oleh keturunan Tadohe’ cs dalam Tadoheisme untuk dikultuskan sedangkan dalam sejarah jauh sebelum era Tadohe’ di Bolaang Mongondow telah ada keturunan bangsawan atau para raja Bolaang Mongondow antara lainnya fam-fam atau marga-marga seperti :

“GUMALANGIT; GINSAPONDO atau Tumanurung; PONDADAT(ayah kandung dari raja Ponamon) atau leluhurnya(kakeknya) Paputungan; TAMBARIGI; GOLONGGOM; GINUPIT; YAYUBANGKAI; PONAMON; MAMONTO; PAPUTUNGAN; KOLOPITA; BUSISI; SIMBALA; DAMOKIONG; BAHANSUBU; LOBANSUBU; DOLOT; GINOGA; DATUELA; DAMOPOLII putranya Yayubangkai; DAMOPOLII putranya Paputungan; DABIT; BANGKIANG; MAKALALAG; MAKALALO; MALASAI; MALAH; MOKOAGOW; LOMBAN; DUWATA’ atau DUATA’; BONDE; DAKOTEGELAN; KOINSING; MOKOAPA; MOKODOMPIT; KOBANDAHA; KUNSI’; PINUYUT; BANGOL(dari jalur keturunan Mamonto); MANGGOPA; PANGGULU; MAKALUNSENGE; MOKOTOLOI; POLO; PUDUL; MANOPPO atau MANOPO;, beserta keturunan-keturunan marga-marga tersebut yang mewarisi garis keturunan secara Patrilineal”.

Dengan jelas upaya untuk mengicar status dan jabatan dalam kerajaan Bolaang Mongondow oleh pihak-pihak yang tidak berhak atau bukan golongan mododatu berusaha mengadakan pemolesan sejarah seperti penamaan gelar Mododatu dan atribut-atribut kebangsawanan Mododatu tersebut seperti Kulintang, Motubo atau dengan penamaan lain dan Toipoi atau dengan penamaan lain, gelar Abo’ dan Bua’, dan lain sebagainya dalam kenyataannya sering dipakai oleh golongan yang bukan keturunan raja atau keturunan golongan “Raja”(Mododatu) dan diragukan atau bukan keturunan Mododatu dan malah sebaliknya keturunan-keturunan asli Mododatu seolah-oleh oleh marga tertentu mengatakan tidak berhak yang apabila kita adakan ferifikasi dan kajian sejarah ternyata yang berhak adalah fam-fam atau marga-marga yang telah disebutkan sebagai marga Mododatu tersebut yaitu marga-marga : “GUMALANGIT; GINSAPONDO atau Tumanurung; PONDADAT(ayah kandung dari raja Ponamon) atau leluhurnya(kakeknya) Paputungan; TAMBARIGI; GOLONGGOM; GINUPIT; YAYUBANGKAI; PONAMON; MAMONTO; PAPUTUNGAN; KOLOPITA; BUSISI; SIMBALA; DAMOKIONG; BAHANSUBU; LOBANSUBU; DOLOT; GINOGA; DATUELA; DAMOKIONG; DAMOPOLII putranya Yayubangkai; DAMOPOLII putranya Paputungan; DABIT; BANGKIANG; MAKALALAG; MAKALALO; MALASAI; MALAH; MOKOAGOW; LOMBAN; DUWATA’ atau DUATA’; BONDE; DAKOTEGELAN; KOINSING; MOKOAPA; MOKODOMPIT; KOBANDAHA; KUNSI’; PINUYUT; BANGOL(dari jalur keturunan Mamonto); MANGGOPA; PANGGULU; MAKALUNSENGE; MOKOTOLOI; POLO; PUDUL; MANOPPO atau MANOPO;, beserta keturunan-keturunan tersebut yang mewarisi garis keturunan secara Patrilineal”.

Sesuai beberapa pengakuan W. Dunnebier sendiri yang mana kesalahan-kesalahan penulisannya terhadap sejarah Bolaang Mongondow disisipkannya di hampir seluruh halaman bukunya yang berjudul “Over De Vorsten Van Bolaang Mongondow tahun 1984” yang secara politik dikondisikan atau diadakan berdasarkan untuk kepentingan pengkultusan kepada para raja Bolaang Mongondow keturunan-keturunan Tadohe’ dalam mempertahankan kedudukan raja agar tidak pindah kepada pihak fam-fam (marga-marga) yang telah disebutkan di awal tulisan ini dengan harapan fam-fam tersebut tidak mengetahui, mengenal dan memahami kebesaran leluhurnya dengan pemahaman yang sistematis atau intelektual dan jiwa sebagai keturunan raja-raja Bolaang Mongondow atau sebagai keturnunan Para Datu Binangkang secara patrilineal.

Dengan upaya tersebut maka untuk menutup-nutupi kebenaran sejarah kerajaan Bolaang, digiring ke kebudayaan(budaya) dan kesenian(seni) supaya orang Bolaang Mongondow lupa dan takut untuk mempelajari keberadaan dirinya sendiri secara sistematis dan intelektual yang notabennya adalah juga keturunan golongan “MODODATU ATAU PARA RAJA MOKOAGOW” sebagai bentuk mis information dalam sejarah raja-raja Bolaang Mongondow yang terselubung selama ini yang penting untuk diangkat kembali agar sejarah kerajaan Bolaang Mongondow yang benar dan berimbang dapat dinikmati bersama terutama oleh para generasi yang akan datang”.

Adapun pemakaian atribut-atribut raja-raja dan kerajaan Bolaang Mongondow selama ini malahan sebagian besar bukan lagi para golongan asli Mododatu yang menggunakannya tetapi pihak yang bukan golongan Mododatu Bolaang Mongondow dengan ungkapan in Mogoguyang yang berbunyi :

“MOANTO’ MASA NA’AYA DOKABIDON DUMAYA-DAYAN TUMON MODODATU PADAHAL DE’ EMANBI’ MODODATU ANDEKA ADAT TA DIA’ KO ADAT-ADAT MINTAN” yang artinya sesuai hikayat maupun penuturan para tua-tua/ para orang tua, sekarang adat penghormatan tersebut kebanyakan sudah digunakan oleh pihak yang tidak berhak menggunakannya(bukan golongan mododatu kerajaan Bolaang Mongondow) dan hanya ikut-ikutan saja atau aturan yang tidak berdasarkan pada aturan atau sumber yang asli/aturan tua(Lihat W. Dunnebier 1984 halaman 21 baris ke-15 kata pertama sampai baris ke-16 kata ke-3). Adapun hal-hal tersebut dapat dibuktikan secara bukti-bukti data-data sejarah baik dalam bentuk data-data, literatur-literatur sejarah daftar silsilah keturunan raja-raja Bolaang Mongondow maupun hikayat-hikayat yang menggunakan sistem pengangkatan raja-raja Bolaang Mongondow yang berlaku sejak zaman purba sampai raja terakhir Raja H. J. C. Manoppo yang mengambil sistem Patrilineal dalam setiap suksesi dan prosesi pengangkatan raja Bolaang Mongondow yang berbunyi :

“Pengangkatan Raja senantiasa akan dipilih dari pihak pria keturunan Raja-Raja(W. Dunnebier 1984 halaman 21, baris ke-15 kata pertama sampai dengan baris ke-16 kata ke-3)”, dan lain-lain. Yang apabila kita kaji maka dapat diperhadapkan kepada temuan-temuan yang mana salah satunya adalah bagaimana agar para fam-fam seperti yang disebutkan pada awal tulisan ini oleh faham Tadoheisme supaya tidak mengetahui asal-muasalnya atau leluhurnya yang notabennya adalah juga keturunan Para Raja Loloda Mokoagow atau Para Datu Binangkang berdasarkan bukti-bukti dan data-data yang ada yang oleh W. Dunnebier dan para penguasa beserta sebagian tokoh adat pada saat itu yaitu keturunannya Tadohe’(Sadohe’) secara politik dan lain sebagainya dianggap dapat mengancam eksistensi dan kedudukan para raja leluhur dan keturunan Raja Tadohe’.

Hal ini mungkin didasari oleh kepentingan politik, ekonomi, tidak mau disaingi karena takut bersaing, jabatan, kedudukan, penghidupan(keamanan mata pencaharian), eksistensi diri agar bagaimana supaya tidak ada saingan, politik, ekonomi, penghidupan, persaingan kerja, dan lain sebagainya oleh para penguasa maupun tokoh adat pada waktu itu supaya tidak ada saingan atau menghindari persaingan politik untuk kepentingan sendiri secara pribadi atau kelompok agar marga-marga yang telah disebutkan di awal tulisan ini tidak mengetahui asal-usulnya secara sistematis atau intelektual sebagai keturunan Para Raja Bolaang Mongondow atau Para Raja Loloda Mokoagow/Datu Binangkang yang sering dikenal dengan sebutan “KI MOKOAGOW” atau “ABO’ MOKOAGOW” yaitu mewarisi darah keturunan Para Raja Bolaang Mongondow yang dapat mengancam eksistensi keturunan dan leluhurnya Tadohe’ di berbagai segi dan bidang kehidupan dan penghidupan antara lainnya dengan cara menutup-nutupi kebenaran sejarah kerajaan Bolaang Mongondow lalu digiring ke kebudayaan(budaya) dan kesenian(seni) supaya orang Bolaang Mongondow lupa dan takut/ ketakutan untuk mempelajari keberadaan dirinya sendiri secara sistematis dan intelektual yang notabennya adalah juga keturunan golongan “MODODATU ATAU PARA RAJA MOKOAGOW”.

Timbul pertanyaan. Ada apa sebenarnya dengan yang terjadi terhadap penulisan-penulisan sejarah kerajaan Bolaang Mongondow selama ini?, dan untuk kepentingan siapa upaya-upaya misinformation tersebut diadakan?. Inilah salah satu sisi dari sekian segi dan dimensi perihal sejarah Kerajaan Bolaang Mongondow yang banyak dikaburkan oleh W. Dunnebier beserta beberapa para penguasa dan tokoh adat pada saat itu yang sengaja dikaburkan untuk kepentingan Keturunan Tadohe’ oleh Belanda dan para raja keturunan atau pihak leluhur dan keturunannya Tadohe’ pada saat itu.

Sumber: Berdasarkan karya-karyanya W. Dunnebier sendiri; “Mododatu In Bolaang Mongondow Dan Pembatasan Penulisan Sejarah Untuk Kepentingan Penguasa Era Penulis W. Dunnebier”

Sejarah Singkat Bolaang Mongondow

Mitologi Dan Asal-Usul Masyarakat Bolaang Mongondow.
Gambar: Danau Mooat

Asal-Usul Penduduk

Hikayat yang berkembang secara turun temurun tentang asal usul manusia yang mendiami daratan Bolaang Mongondow, Berawal dari masa terjadinya kenaikan permukaan air, Sehingga hampir semua daratan tenggelam tertutup air. Menurut hikayat ini, Pada waktu itu terjadilah air pasang yang melanda semua daratan dan membenamkannya dibawah permukaan air. Sehingga, yang tersembul tinggal satu tempat yang dikenal dengan gunung Komasaan atau Huntuk, Yang dikala itu termasuk puncak yang tertinggi. Tempat ini sekarang disebut Huntuk Baludaa dihulu sungai Ilanga sekitar 40 Km dari Bintauna.

Pada masa itu, yang mula-mula tinggal disana satu-satunya manusia bernama Gumolangit atau Budolangit, Yang artinya manusia turun dari langit.

Sekali waktu Gumolangit berjalan mengelilingi gunung sambil menyusuri pantai, Tiba-tiba tampak olehnya seorang laki-laki ditengah laut yang sedang berjalan diatas ombak menuju ke pantai. Setibanya di pantai,pecalah ombak dan bertepatan dengan itu, muncullah seorang wanita dari pecahan ombak tersebut.Jadi, saat pendatang asing itu melangkah kedarat, ombak besar menghambur ke pantai dan dari pecahan ombak ini muncul pulah seorang wanita. Karena itu, Gumolangit menamakan Laki-laki itu “Tumotoi Bokol”, yang artinya meniti pada ombak. Sedangkan si wanita dinamakan “Tumotoi Bokat”, artinya keluar dari pecahan ombak.

Kemudin Gumolangit meneruskan perjalanannya di tepi laut hingga ia merasa lelah dan haus. Tiba-tiba ia melihat seruas bambu. Setelah di amat-amati, ternyata bambu tersebut tidak mempunyai ruas. Sepotong bambu itu merupakan pipa yang ujung ruasnya tidak berbuku. Diambilnya bambu itu dan menujulah dia ke suatu sumber mata air yang mengalir dari celah_celah batu.

Ketika hendak mengisi air, Tangan Gumolangit yang satu dipakai menutup ujung bambu bagian bawah, agar tidak terbuang. Setelah bambu terisi penuh, Gumolangit hendak meminumnya. Namun terjadilah suatu keajaiban. Dari bambu itu tak setetes pun air yang keluar untuk dapat diminum. Beberapa kali dia berusaha menuangkan air ke mulutnya. Tetapi air itu tidak pernah keluar dari bambu.

Sementara Gumolangit terheran-heran dan bertanya-tanya tentang ihwal kejadian itu, Tiba-tiba potongan bambu itu pecah berserakan dan secara ajaib berdirilah seorang perempuan di depannya. Karena terkajut, sampai-sampai dia terlompat ke udara. Gumolangit menamakan perempuan ini “Tendeduata”, yang bermakna pujaan dewa.

Selanjutnya, keempat manusia ini tinggal bersama di puncak Gunung Komasaan. Kemudian mereka menjadi dua pasanga suami-istri Gumolangit-Tendeduata dan Tumotoi Bokol-Tumotio Bokat.
Beberapa waktu terselang, pasangan Gumolangit dan Tendeduata dikaruniai seorang anak perempuan cantuk yang diberi nama Dinondong (yang dieluk-eluk). Tumotoi tumotopi Bokol dan Tumotoi Bokat dianugerahi seorang seorang anak laki-laki yang di beri nama Sugeha.

Setelah dewasa- atas kesepakatan kedua orang tua masing-masing – keduanya di kawinkan. Dari perkawinan Sugeha dan Dinondong, lahirlah seorang anak laki-laki yang di beri nama Sinudu (penerus/penyusul). Ketika telah dewasa, Sindu kawin denga seorang perempuan yang bernama Golingginan (hidup sederhana).

Sinudu dan Golinggian beroleh anak perempuan yang dinamai Sampoto. Sampoto artinya ingin memperoleh wanita. Setelah mencapai dewasa, Sampoto kawin dengan Daliian (Daliyann = ingin mengulang kembali). Perkawinan mereka dianugerahi tiga anak masing-masing bernama: Pondaag, Daagon dan Mokodaag.
Pada usia dewasa, Daagon dikawinkan dengan Dampulolingdan tidak lama kemudian memperoleh anak: Silagondo.

Tahun-tahun terus berganti. Makin lama penduduk makin bertambah. Seiring pertumbuhan penduduk, permukaan air pun semaki surut dan bermunculan banyak daratan. Sejak itu, dimulailah persebaran manusia ke seluruh penjuru Bolaang Mongondow. Bahkan pada masa itu pilah, mulai terbentuk pemukiman-pemukiman (totabuan) baru yang satu sama lain saling berjauhan. Melalui perjalanan waktu, makin lama pertumbuhan pendudukmakin meningkat dan lambat laun manusia tidak saling mengenal lagi.

Ada yang menetap di tempat semula (Huntuk). Ada pulah yang menuju pantai Utara dan kearah pedalaman sebelah timur dan selatan. Yang menuju ke Utara mendiami tempat dan wilayah Pandoli, Sinumolantaan, Ginolantungan, Buntalo, Maelang dan lain-lain. Yang ke pedalaman dataran Mogutalong/dataran Mongondow, menuju Tudu in Passi, Tudu in Lolayan, Tudu in Sia, Polilian, Alot, Batunoloda, Batu Bogani dan sebagainya. Yang menuju ke pedalaman sebelah selatan mendiami tempa-tempat seperti Bumbungan, Mahag, Tabagolinggot, Tabagomamang, Siniyow, Dumoga Mointok, Dumoga Moloben dan lain-lain.

Tempet-tempet ini kemudian berkembang menjadi wilayah pemukiman yang luas. Denagan berkembangnya penduduk di masing-masing wilayah atau kelompok, mereka pun mengangkat kepala kelompok sebagai pimpinan yang berfungsi mengatur tata tertib kehidupan di pemukiman. Orang-orang yang di pilih biasanya mereka yang di nilai cerdik, kuat dan berani. Kepala-kepala kelompok atau pimpinan ini disebut Bogani (gagah dan berani).

Bogani-bogani yang terkenal dimasa itu antara lain: Bogani Damoluwo’ dan Pongayou di Tudu in Passi, Bogani Binongkuyu’ di Tudu in Bakid di Pontodon, Bogani Lingkit di Tudu in Yanggat dan Bogani Dondo di Tudu in Bilalang di Bilalang. Kemudian Bogani Mogedag dan Bogani Bulumondow di Tudu in Lolayan, Bogani Bolongkasi di Buluan, Bogani Rondong dan Bongiloi di Poliian, Bogani Manggopa Kilat dan Salamatiti di Dumoga Moloben, Bogani Amaliye dan Inaliye di Bumbungon, Bogani Damonegang di Tudu in Babo, Bogani Punu Gumolung di Ginolantungan dan sdebagainya. Sedangkan Bogani-bogqani wanita seperti: Salamatit dan Inaliye, kira-kira hidup pada abad XIII dan Inde’Dou’ pada abad XV.

Dapat di kemukakan di sini, hikayat persebaran penduduk yang berpindah menggunakan perahu yang mendarat di sekitar muara sungai Ongkag Lombagin dan sungai Sumoit di tempat-tempat yang kemudian dinamakan bangka’ dan panag. Perahu yang digunkan adalah sejenis perahu besar yang disebut bangka’ dan perahu yang lainnya disebut panag. Hikayat ini mempunyai muatan aspek histories yang sangat vital. Fakta empiris ini, antara lain, dapat menunjukan dan membenarkan dugaan bahwa di masa purba kala terdapat dua buah danau besat di pedalaman Bolaang Mongondow. Uraian ini di kutip dari penjelasan penerjemah buku Dunnebier, Mengenal Raja-raja Bolaang Mongondow(1998:88-90).

Penduduk yang dating dengan menggunakan bangka’ dan panag, mereka mendiami dataran disekitar dua sungai yang disebutkan diatas. Karena sering banjir besar, pemukiman bangka; dan panag ter ancam, baik oleh banjir itu sendiri maupun ancaman gelombang laut. Penduduk pindah menyelamatkan diri. Sebagian menyusuri pantai dan sebagian yang terdiri dari beberapa kelompok, memilih mencari tempat yang dirasakan lebih aman. Dengan bermodalkan keberanian, tekad dan semangat yang tinggi dengan di pimpim lepala kelompok, mereka mencari pemuliman baru dengan menyusuri aliran sungai menuju ke timur.

Kelompok-kelompok ini menyusuri sungaiOngkag Lombagin. Ketika tiba di tempat pertemuan (bersatunya) Ongkag Mongondow dan Ongkag Dumoga mereka terhenti, karena terjebak dalam hutan lebat yang dilingkupi barisan petunungan berlapis-lapis yang mengapit kedua Ongkag ini. Untuk dapat melanjutkan perjalanan, rombongan ini mengadakan peninjauan sambil menengok keatas (ilumangag), kearah gugusan pegunungan manakah yang harus di tembus. Ditempat ini pula berdirilah kampong yang sekarang bernama Langagon.

Perjalanan dilanjutkan mengikuti huku ongkag Mongondow dan tiba di tempat yang sekarang Desa Solimandungan. Konon, nama desa itu berasal dari kata “Pinolimanonan”, tolimanon yang artinya saling menunggu kawan atau anggota rombongan lain yang tertinggal di belakang. Kemudian kelompok berjalan terus sampai di tempat yang letaknya di Desa Komangaan sekarang ini dan beristirahat. Mereka merasa legah dan betah di tempat ini, “Noanga” (kinoangaan), yang menjelma jadi Desa Komangaan.

Rombongan selanjutnya menembus hutan rimba sambil memberi tanda dengan parang pada pepohonan yang dilewati, yaitu “Taga”, tempat yang sekarang di namakan Sinagaan. Taga’ merupakan penunjuk jalan bagi mereka yang berada di belakang.

Setelah berjalan beberapa hari, kelompok ini tiba di suatu tempat yang sekarang disebut Desa Muntoi. Nama Desa ini berasal dari kata “Noontoy”, dan bermaknah hasil jerih payah yang terkumpul selama dalam perjalanan.

Setelah melewati Muntoi, mereka dating ke lembah kecil yang terbenam di tengah-tengah pegunungan “Motuyobong” atau “Noilobong”, di tempat pertemuan kali Ongkag dan kali Lobing, di Desa Lobong sekarang. Dari sini pengembaraan ditengah hutan dilanjutkan mengikuti lereng “Nogalet” sampai ke atas puncak bukit “Otam”.

Otamon merupakan jenis tumbuhanyang dapat melukai tangan jika mencabutnya tidak hati-hati. Nama tempat ini sekarang berada di Desa Otam dan Desa Wangga. Wangga sebelumnya disebut “Ponugalan” dan berasal dari kata “Tugal” (lubang-lubang kecil) untuk menanam padi dengan menggunakan sepotong bambu atau kayu. Di Tudu Wangga ini pernah di temukan perahu yang di gunakan orang pada masa dahulu.

Lambat lain, seiring dengan pertambahan penduduk, rombongan pengembara ini mencari tempat pemukiman-pemukiman baru. Mereka menjadi kelompok-kelompok yang besar dengan tempat yang makin terpisah satu sama lain. Sehingga, munculnya pemimpin-pemimpin kelompok (bogani), makin menyemarakkan migrasi orang Bolaang Mongondow.

Bahkan lamban laun para bogani itu ,emjelajahi daratan Mongondow (asl kata: Momondow), yang artinya teriakan-teriakan panjang saling bersahutan sebagai tanda atau kode agar tidak kehilangan komunukasi satu sama lain ditengah-tengah daratan hutan belantara yang luas. Dilembah yang luas ini ditemukan banya kali-kali kecil, pohon sagu dan pohon dammar yang getah nya dapat dipakai untuk lampu atau penerangan. Pohon in I dinamakan “Damag-Talong”. Karena itu, dataran yang luas ini dinamakan :Lopa’ in Mogutalong”. Kini, dikenal sebagai wilayah Passi dan Lolayan.

Agaknnya, setelah Gumolangit kawin dengan Tendeduata, dan mendapat anak Dinondong di Huntuk, Baludaa di Bintauna, dia dating ke Dumoga. Seterusnya, kawin lagi dengan Sandilo di Bumbungon. Orang tua, kake dan nenek, bahkan leluhur Sandilo, tentu lahir dahulu dari Gumolangit. Masyarkat Bumbungon serta pemukiman-pemukiman di sekitarnya seperti Mahag, Tobago, Linggot, Tobagomamang, Siniyow, Dumoga mointok dan Dumoga moloben, penduduknya sudah berkembang demikian pesat. Akan tetapi, masi adah generasi yang lebih tua. Mereka seperti yang terdapat dan hidup di Bunbungon dan sekiternya pada abad sebelum atau sekitar panjajahan Portugis.

Salah satu bukti bahwa di bumbungon dan sekitarnya telah berkembang suatu kehidupan masyarakat yang luas, pada saat pecahnya selaput bayi yang bernama Mokodoludut. Orang-orang yang hiruk pikuk yang brlarian dating melahat dan gemuruh bunyi permukaan tanah dilewati kelompok-kelompok manusia dinamakan Mokodoludut, yang artinya menimbulkan gemuruh. Sebaliknya, bagaimana pertumbuhan keluarga Gumolangit di Huntuk dan sekitarnya, setelah Silangondo tidak ada lagi riwayat lanjutannya. Ini berarti bahwa pusat kehidupan masyarakat Bolalang Mongondow pada wakti itubukanlah di Huntuk, Baludaa Bintauna dan sekitarnya. Tapi konsentrasi dan pertumbuhan penduduk justru berkembang di Bumbungon dan sekitarnya. Karena penduduk sudah berkembang luas, disinilah lahir Raja peertama Bolaang Mongondow itu. Kalau Gumolangit dan keturunan, baik di Huntuk Baludaa maupun di Bumbungon Dumoga, hidup dalam tahun 1200-san atau 1300-san, timbul pertanyaan siapa manusia atau dimana asal usul penduduk Bolaang Mongondow yang mendahului periode kehidupan generasi Gumolangit.

Menurut pendapat bahwa manusia atau penduduk Bolaang Mongondow yang hidup lebih awal dari dari masa kehidupan Gumolangit dan keturunannya, baik di Huntuk maupun di Bumbungon, adalah orang-orang atau penduduk Bolaang Mongindow yang hidup dimasa dataran Mongondow dan Dumoga masih berupa dua buah danau yang besar. Penduduk ini adalah mereka yang menggunakan perahu-perahu yang pernah di temukan di desa Wangga sekarang.

Dengan argumentasi ini, maka leluhurnya, putri Sandilo di Bumbungon maupun Gumolangit, bukanlah manusia pertama etnik Bolaang Mongondow. Manusia-manusia yang hidup dan mendiami Bolaang Mongondow pada masa dataran Mongondow ( Mogutalong) dan Dumoga masih merupakan danau, adalah orang-orang yang diperkirakan sebagai laluhur-leluhur penduduk asli Bolaang Mongondow. Kapan perioda keberadaan Danau Mogutalong dan Danau Dumoga, akan dapat di perkirakan setelah ada data terjadinya letusan dahsyat Gunung Ambang pada masa itu. Dan data ini akan dapat ditemukan dalam buku-bukugeografi dan sejarah.

Selanjutnya, tantang hikayat Tendeduata yang berasal dari pecahan Bambu Kuning. Karena sifat ceritanya yang bernada aneh,tentunya diperlukan pemahaman yang rasioanal. Bila di analisis secara nalar, maka konteks probabilitas yang dapat diterima akal sehat memperkirakan, Tendeduata sedang mempersembunyikan diri dalam rumpun Bambu ketika Gumolangit mengambil seruas bambu.

Tentang Tumotoi Bokol dan Tumotoi Bokat, keduanya di kategorikan sebagai bagian dari manusia pendatang (Imigran). Menurut sejarah penduduk Indonesia, asal usul mereka atang dari rumpun palae mongoloid di Indo Cina dan Asia Tenggara. Karena mereka tiba di daratan Bolaang Mongondow melalui laut, dinamakan Tumotoi Bokol dan Tumotoi Bokat.

Mengenai asal-usul penduduk Bolaang Mongondow banyak yang berpendapat bahwa mereka beasal dari Filipina, terutama dari pulau Mindanau. Dugaan ini diperkuat dengan data bahasa (bukan kesamaan bahasa)antara bahasa tagalong di Filipina dan bahasa Mongondow. Misaknya, kat-kata yang sama arti dan penggunaanya seperti: loluang (jalan), tondok (pagar), tubig (air), manuk (ayam), penghulu dan sebagainya. Kemudian, kalau dilihat dari aspek antropologis, strutur fisik antara orang-orang Mindanaudan Bolaang Momngondow, hampir tidak ada perbedaan yang menyolok.

Arus pelayaran manusia dari Filipina, khususnya dari Mindanau di sekitar penjajahan Portugis dan Spanyol baik sebagai nelayan maupun sebagai bajak laut, masih tetap tinggi hingga abad XV. Bogani-bogani Inde’ Dou’, Inde’ Dikin dan lainnya, adalah bogani-bogani yang antara lain, mempunyai tugas utama memberantas perampok dan perompak dari Mindanau. Sebagai suatu bukyi, saat Tadohe dan pembantunya mendarat di laut sekitar Desa Togid, pada awalXVI (1600), Inde; Dou’ hampir membunuhnya, karena disangkah perompak dari Mundanau.

Dou’ alias Inde’ Dou’, ketika itu merupakan pemimpin rakyat adalah seorang wanita yang mewarisi kekuasaan Punu’ Damopolii dan menguasai wilayah Minahasa Selatan, mulai dari Ratahan – Pontak – Buyat dan seluruh Kecamatan Kotabunan sekarang.

Penyebaran Penduduk

Menurut riwayat, hubungan Bolaang Mongondow dan Minahasa sudah terjalin sejak dari masa purba. Puteri Punu’ Mokodoludut, yang bernama Ginsapondo, adalah perintis pertama yang dating ke Minahasa dan kemudian merupakan asal keturunan dari beberapa pemimpin dan tokoh-tokoh di Minahasa. Perpindahan Ginsapondo ke Minahasa, terjadi pada awal abad XV.

Kemudian menjelang akhir abad XV, Punu; Damopolii dikenal sebagai cucu Punu’ Mokodoludut, dating ke Minahasa dan kawin dengan Wulan Uwe Randen yang kemudian disebut Tende in Bulan atau Tendeduayo’.
Di Minahasa dikenal sebagai manusia perkasa dan dinamakan Ramopolii. Damopolii banya mengembara ke Minahasa Utara, Siau, Kema da Likupang. Dalam perjalanan pengembaraan sebagai kebiasaan orang-orang perkasa di zaman purba, diperkenankan untuk kawin yang di Mina-hasa disebut Tateon. Asal kat ini, tot berarti pegang. Nama-nama marga Ramopolii, Damopolii< Polii adalah nama marga yang kini masih berkembang di Minahasa, Biotung dan Manado.

Punu’ Busisi* adalah putra Punu’ Damopolii. Beliau mengikuti jejak ayah nya yang banyak mengembara ke Minahasa. Ia kawin dengan Limbatondo. Puterenya di beri nama Makalalo. Makalalo adalah asal nama minahasa. Konon, karena neneknya Minahasa. Setelah makalalo menjadi Punu’ menggantikan ayah nyak, iya kawin dengan puteri Minahasa Wulan Ganting-ganting dari Mandolang dekat Tateli. NAma-nama Makalalo, Lalo atau Lalu, adalah marga-marga yang kini tetap hudup di Minahasa dan daerah-daerah sekitarnya.

Setelah Punu’ Makalao digantikan putranya Punu’ Mokodompit, Mokodonpit kawin dengan Menggeyadi, seorang putrid berasal dari pulau Lembeh Minahasa, Kotamadya Bitung sejarang. Kemudian Mokodompit kawin dengan Gogune ke Sangir Talaut sekitar 1580.

Puteranya Tadohe lahir di sini dan kembali ke Bolaang Mongondow pada 1600. Turunan Mokodompit di Sangir Talaut, kini dikenal dengan Mokodompis. Kebudayaan kuna antara Bolaang Mongondow dan Sangir Talaut, dalam beberapa hal, ada kesamaan. Menurut sarasehan Budaya se-Sulawesi Utara1981, ada kata-kata yang mengandung kemiripan (kognat). Misalnya kabela (Bolaang Mongondow) dan kawela (Sangir Talaut) untuk alat tempat sirih. Alat kesenian pun ada kesamaan istilah seperti: rambabo, bansi dan tantabua. Tri Tayok banyak kesamaan dengan tari Gunde di Sangir Talaut. Bahkan mungkin nama tari Gunde ini di ambil dari nama istri Mokodompit, yaitu Gogunde.

Seorang putra Tadohe. Loloda Mokoagow menjadi Raja pada tahun 0650-1694. Loloda Mokoagow disebut Raja Bolaang Mongondow dan Minahasa. Karena, Minahasa berada di bawah kekuasaanya. Loloda Mokoagou di namakan juga Raja Manado. Bahkan leluhur Raja Loloda Mokoagow pernah menguasai Desa Bonton di Gorontalo (Valentijn, dalam Dunebier, 1983:27).

Sumber: Lipu'ku in Totabuan

kiya karo By Maher Zain


  
Allah-hi-Allah-kiya-karo 
(Katakan Allah, hanya Allah)
Dukh-na-kisi-ko-diya-karo 
(Jangan melukai siapapun)
Jo-duniya-ka-malik-hai 
(Dia yang menguasai semua alam)
  Naam-usi-ka-liya-karo 
 (hanya menyebutkan namaNya) 
Allah-hi-Allah
(Allah, hanya Allah) 
Allah-hi-Allah 
 (Allah, hanya Allah) 


 (Repeat) 

  Just like a sunrise 
(seperti matahari yang terbit) 
Can’t be denied 
(tidak bisa di hentikan) 
Just like the river 
(seperti sungai) 
Will find the sea 
(yang akan menemukan lautan) 

Oh Allah, You’re here 
(Oh Allah, Engkau ada di sini) 
You’re always near
(Engkau selalu dekat) 
And I know without a doubt
(Dan aku tahu tanpa keraguan) 
That you always hear my prayers 
(bahwa kau akan selalu mendengar doaku)

 Such-ki-rahoon-pey-chala-karo 
(Tetap berjalan pada jalan yang benar) 
Dukh-na-kisi-ko-diya-karo 
(Jangan melukai siapapun) 
Jo-duniya-ka-malik-hai 
(Dia yang menguasai semua alam) 
Naam-usi-ka-liya-karo 
 (hanya menyebutkan namaNya) 
Allah-hi-Allah 
(Allah, hanya Allah) 
Allah-hi-Allah 
 (Allah, hanya Allah) 

 Allah-hi-Allah-kiya-karo
(Katakan Allah, hanya Allah) 
Dukh-na-kisi-ko-diya-karo 
(Jangan melukai siapapun) 
Jo-duniya-ka-malik-hai 
(Dia yang menguasai semua alam) 
Naam-usi-ka-liya-karo 
 (hanya menyebutkan namaNya) 
Allah-hi-Allah 
(Allah, hanya Allah) 
Allah-hi-Allah 
(Allah, hanya Allah)

So many bright stars 
(Begitu banyak bintang bersinar) 
Like diamonds in the sky 
(Seperti intan yang ada di langit) 
It makes me wonder 
(ini membuatku kagum) 
How anyone can be blind 
(bagaimana semua orang tidak bisa melihat) 

To all the signs so clear 
(pada semua tanda yang begitu jelas) 
Just open your eyes 
(Bukalah mata kalian) 
And I know without a doubt 
 (dan aku tahu tanpa ragu) 
You will surely see the light 
(Kau akan melihat cahaya itu) 

 Theri-duniya, theri-zameen 
(Duniamu, Tanah mu) 
Yeh-kehkashan-hai 
(Seperti sebuah galaxy) 
Yeh-thu-hai-Kareem 
(Dan engkau yang paling mengagumkan) 
Meray-Maula, sun-lay-dua
(Tuhanku, jawablah doaku) 
Hum-baybus-hain-theray-bina 
 (Kamu tidak bisa apa2 tanpaMu) 

Roshan-kar-jahaan 
(Aku mohon berikan cahaya pada duniaku) 
  Aisa-zulm-na-kiya-karo 
 (jangan melakukan tindakan yang tidak adil) 
Dukh-na-kisi-ko-diya-karo 
(Jangan melukai siapapun) 
Jo-duniya-ka-malik-hai
(Dia yang menguasai semua alam) 
Naam-usi-ka-liya-karo 
 (hanya menyebutkan namaNya) 
Allah-hi-Allah 
(Allah, hanya Allah) 
Allah-hi-Allah 
 (Allah, hanya Allah) 

  Allah-hi-Allah-kiya-karo 
(Katakan Allah, hanya Allah) 
Dukh-na-kisi-ko-diya-karo 
(Jangan melukai siapapun) 
Jo-duniya-ka-malik-hai
(Dia yang menguasai semua alam) 
Naam-usi-ka-liya-karo 
 (hanya menyebutkan namaNya) 
Allah-hi-Allah 
(Allah, hanya Allah) 
Allah-hi-Allah 
 (Allah, hanya Allah) 

 (Repeat) (x2) 

 Allah-hi-Allah (x2)


Sejarah dan Ajarannya Muktazilah


Muktazilah (bahasa Arab: المعتزلة al-mu`tazilah) adalah satu dari cabang pemikiran dalam Islam yang terkenal dengan sifat rasional dan liberal. Ciri utama yang membezakan pemikiran ini dari pemikiran teologi Islam lainnya adalah pandangannya yang lebih banyak menggunakan dalil 'aqliah (akal) sehingga sering disebut sebagai aliran rasionalis Islam.

Etimologi

Perkataan Muktazilah berasal dari bahasa Arab إعتزل (iʿtazala) yang bermaksud "meninggalkan", "menjauhkan diri".

Sejarah Perkembangan


Pemikiran Muktazilah mula bertapak pada kurun kelapan Masehi (abad kedua hijrah) di Basrah, Iraq, apabila Wasil ibn Ata meninggalkan kelas pembelajaran Hasan al-Basri selepas berselisih faham mengenai isu Al-Manzilah bayna al-Manzilatayn (akan diterangkan kemudian). Beliau dan pengikutnya termasuk Amr ibn Ubayd kemudiannya dilabelkan sebagai Muktazili/Mu'tazili. Golongan ini juga menggelar diri mereka sebagai Ahl al-Tawhid wa al-'Adl (golongan tauhid dan keadilan Tuhan) berdasarkan ideologi yang mereka perjuangkan di antaranya mahukan sistem Islam yang berdasarkan akal. Mereka juga dilabel sebagai golongan free will dan free act, kerana mereka berpegang kepada prinsip kebebasan melakukan sesuatu.

Ketika pertama kali muncul, pemikiran Muktazilah tidak mendapat simpati umat Islam, terutama di kalangan masyarakat awam kerana mereka tidak begitu memahami ajaran Muktazilah yang bersifat rasional dan sarat dengan falsafah. Alasan lain mengapa pemikiran ini kurang mendapat sokongan umat Islam pada saat itu adalah kerana pemikiran ini dianggap tidak selari dengan sunnah Rasulullah SAW dan para sahabat.

Muktazilah bergantung kepada beberapa aspek pemikiran dari falsafah Islam, Greek dan Helenistik.

Aliran Muktazilah berkembang di kalangan golongan intelek semasa pemerintahan Khalifah al-Ma'mun dari dinasti Abbasiyah (198-218 H/813-833 M). Kedudukan Muktazilah semakin kukuh setelah Khalifah al Ma'mun menjadikannya sebagai mazhab rasmi negara. Dikatakan Khalifah al Ma'mun sejak kecilnya sudah dididik dalam tradisi Yunani yang gemar dengan falsafah dan ilmu pengetahuan.

Dan pada zaman itulah golongan muktazilah memaksakan pemikirannya yang dikenal dalam sejarah dengan peristiwa Mihnah (fahaman bahawa al-Quran itu makhluk Allah, jadi tidak qadim. Jika al-Quran dikatakan qadim, maka akan timbul kesimpulan bahawa ada yang qadim selain Allah).

Ajaran asas

Muktazilah mempunyai lima ajaran asas yaitu:

1. Al-Tauhid التوحيد:
*Muktazilah percaya kepada Tauhid iaitu Tuhan itu satu. Mereka berbeza dari majoriti Muslim dalam menerangkan tentang konsep Tauhid supaya selari dengan wahyu dan akal. Contohnya majoriti mazhab dalam Islam menghadapi kesulitan dalam menerangkan sifat Tuhan tanpa menyamakanNya dengan perwatakan manusia (anthropomorphic) atau tidak menerangkan langsung maksud tersebut seperti yang tertulis dalam wahyu. Muktazilah mengatakan sifat Tuhan adalah tidak berbeza dari zatNya. Dengan kata lain, Tuhan itu Maha Mengetahui, tetapi Tuhan itu Maha Mengetahui kerana zatNya bukannya kerana Ia mempunyai pengetahuan yang terasing dari diriNya. Konsep Tauhid ini diterangkan dalam hasil kerja cendekiawan Muktazilah, hakim agung Abd al-Jabbar ibn Ahmad.

*al-Qur'an ialah makhluk.

*Tuhan di alam akhirat kelak tak terlihat mata manusia. Yang terjangkau mata manusia bukanlah Ia. Mereka berdalil dengan firman Allah Ta’ala:
قال رب أرنى أنظر إليك قال لن ترانى
yang bermaksud:
“Maka Nabi Musa berkata: Wahai Tuhan ku perlihatkanlah kepadaku zat Mu yang Maha Suci supaya aku dapat memandang kepada Mu, Allah menjawab: Engkau tidak sekali-kali dapat melihat Ku”
Mereka menafikan penglihatan itu berdasarkan kepada tafsiran mereka akan perkataan “لن” yang menafikan masa sekarang dan akan datang.

2. Al-'Adl العدل - Keadilan Tuhan
Dalam menghadapi masalah kewujudan kejahatan di dunia, Muktazilah percaya kepada free will (kebebasan manusia). Kejahatan dilihat sebagai sesuatu yang berlaku kerana kesalahan manusia dalam melakukan sesuatu. Muktazilah tidak menafikan kewujudan kezaliman ke atas manusia kerana ini terjadi disebabkan manusia itu menyalah gunakan free will (kebebasan) yang diberi Tuhan. Dalam menerangkan hal ini, Muktazilah bergantung kepada doktrin taklif - iaitu hidup ini adalah ujian Tuhan kepada manusia yang diberikan akal fikiran untuk memilih yang baik dan buruk.
Pada hari Kiamat nanti, mereka akan dihukum Tuhan atas segala nikmat yang mereka perolehi dan tanggungjawab yang diamanahkan semasa mereka di dunia. Sekiranya mereka ini menyalah gunakan akal fikiran yang diberi Tuhan, mereka akan dihukum di neraka. Ini kerana Tuhan telah bersikap adil dalam menjelaskan jalan yang lurus dan jalan yang sesat dalam kitab suciNya.

3. Al-Wa'd wa al-Wa'id الوعد و الوعيد - Janji dan amaran
Mereka berpendapat Tuhan tidak akan mungkir janji iaitu memberi pahala pada muslimin yang baik dan memberi azab seksa pada muslimin yang jahat pada hari Kiamat nanti.

4. Al-Manzilah bayna al-Manzilatayn المنزلة بين المنزلتين - Posisi pertengahan
Pendapat ini dicetuskan Wasil ibn Ata yang membuatnya berpisah dari gurunya Hasan al-Basri, bahwa mukmin berdosa besar dan tidak bertaubat, dia bukan mukmin (beriman) tetapi juga bukan kafir (tidak beriman), statusnya boleh dipanggil fasik. Mereka ini boleh dikebumikan sebagai Muslim, didoakan dan mengahwini Muslim. Hanya Tuhan yang akan menentukan di neraka mana mereka ditempatkan kerana neraka itu mempunyai banyak tingkat untuk semua golongan.
Imam Hasan al-Basri berpendapat muslim berdosa besar masih seorang mukmin sementara golongan Khawarij mengatakan mereka kafir.

5. Al-amr bil ma'ruf wa al-nahy 'an al munkar الأمر بالمعروف و النهي عن المنكر - menyeru kebaikan dan melarang kemungkaran
Menyeru kebaikan terdapat dua jenis, satu yang wajib seperti tanggangjawab agama (al-faraid) apabila seseorang meninggalkannya (dayya'aha) dan yang sunat (al-nafila) apabila seseorang meninggalkannya (tarakaha). Dan bagi melarang kemungkaran, ia wajib kerana kemungkaran itu adalah salah (qabih). Jika boleh, melarang kemungkaran itu mestilah jalan yang tidak menyusahkan atau menjadikan kemungkaran itu tidak begitu teruk, dengan matlamat supaya kemungkaran itu tidak berlaku langsung.
Tafsiran Muktazilah berbeza dengan tafsiran ulama’-ulama’ ahli as-sunnah wal-jamaa’h. Di mana muktazilah berpendapat bahawa menyuruh kepada perkara yang ma’ruf dan mencegah perkara kemungkaran mestilah dengan hati terlebih dahulu, kemudian dengan lidah, kemudian dengan tangan dan sekiranya tidak mencukupi dengan lidah dan tangan maka dengan menggunakan pedang. Mereka tidak membezakan antara yang berkuasa dengan tidak berkuasa. Mereka berdalil dengan firman Allah Ta’ala:
"وإن طائفان اقتلوا فأصلحوا بينهما فإن بغت احدهما على الأخرى فقاتلوا التى تبغى حتى تفىء إلى أمر الله " yang bermaksud:

"Dan jika dua puak dari orang yang beriman berperang maka damaikanlah di antara keduanya dan jika salah satu di antara keduanya berlaku zalim terhadap yang satu lagi maka lawanlah puak yang zalim itu sehingga ia kembali mematuhi perintah Allah."

Akal dan wahyu


Golongan Muktazilah mempunyai teori sendiri tentang akal, wahyu dan hubungan di antara keduanya. Mereka menghargai kekuatan akal dan intelek manusia. Bagi golongan ini, akal manusia membawa mereka mengenali Tuhan, sifatNya dan akhlak. Apabila pengetahuan asas ini dan kebenaran Islam dan wahyu al-Quran dicapai, akal dan kitab suci akan menjadi sumber utama kepada panduan dan ilmu pengetahuan orang Islam. Harun Nasution dalam Muktazilah dan Falsafah Rasional (1997), berhujah penggunaan meluas rasionaliti oleh Muktazilah dalam memajukan pandangan agama mereka dengan menulis: "Adalah tidak menghairankan penentang Muktazilah seringkali menuduh Muktazilah sebagai manusia yang tidak memerlukan wahyu, bahawa bagi mereka semuanya boleh diketahui dengan akal, dan terdapat konflik di antara akal dan wahyu, bahawa mereka berpegang kepada akal dan meninggalkan wahyu, dan Muktazilah tidak mempercayai wahyu. Tetapi adakah benar Muktazilah berpendapat semuanya boleh diketahui melalui akal dan oleh itu wahyu tidak diperlukan? Tulisan-tulisan golongan Muktazilah menunjukkan sebaliknya. Pada pendapat mereka, akal manusia tidak cukup kuat untuk mengetahui segalanya dan kerana itu manusia memerlukan wahyu untuk sampai kepada kesimpulan berkenaan apa yang baik dan apa yang tidak baik untuk mereka."
Posisi Muktazilah tentang peranan akal dan wahyu diterangkan dengan baik oleh Abu al-Hasan al-Ash'ari (wafat 324 selepas hijrah/935M), seorang ahli teologi mazhab Ash'ari, dengan mengaitkannya kepada sarjana Muktazilah Ibrahim al-Nazzam (wafat 231 selepas hijrah/845M):
“ كل معصية كان يجوز أن يأمر الله سبحانه بها فهي قبيحة للنهي، وكل معصية كان لا يجوز أن يبيحها الله سبحانه فهي قبيحة لنفسها كالجهل به والاعتقاد بخلافه، وكذلك كل ما جاز أن لا يأمر الله سبحانه فهو حسن للأمر به وكل ما لم يجز إلا أن يأمر به فهو حسن لنفسه ”


Tokoh Muktazilah


Tokoh-tokoh Muktazilah yang terkenal ialah:
  1. Wasil bin Ata, lahir di Madinah, pelopor ajaran ini.
  2. Abu Huzail al-Allaf (751-849 M), penyusun lima ajaran asas Muktaziliyah.
  3. an-Nazzam, murid Abu Huzail al-Allaf.
  4. Abu Ali Muhammad bin Abdul Wahab al-Jubba’i (849-915 M).
Meskipun Muktazilah tiada lagi, namun pemikiran rasionalnya sering dibahas cendekiawan muslim dan bukan muslim.

Sumber: Wikipedia (23/11/13)