Sabtu, 23 November 2013

Sejarah Singkat Bolaang Mongondow

Mitologi Dan Asal-Usul Masyarakat Bolaang Mongondow.
Gambar: Danau Mooat

Asal-Usul Penduduk

Hikayat yang berkembang secara turun temurun tentang asal usul manusia yang mendiami daratan Bolaang Mongondow, Berawal dari masa terjadinya kenaikan permukaan air, Sehingga hampir semua daratan tenggelam tertutup air. Menurut hikayat ini, Pada waktu itu terjadilah air pasang yang melanda semua daratan dan membenamkannya dibawah permukaan air. Sehingga, yang tersembul tinggal satu tempat yang dikenal dengan gunung Komasaan atau Huntuk, Yang dikala itu termasuk puncak yang tertinggi. Tempat ini sekarang disebut Huntuk Baludaa dihulu sungai Ilanga sekitar 40 Km dari Bintauna.

Pada masa itu, yang mula-mula tinggal disana satu-satunya manusia bernama Gumolangit atau Budolangit, Yang artinya manusia turun dari langit.

Sekali waktu Gumolangit berjalan mengelilingi gunung sambil menyusuri pantai, Tiba-tiba tampak olehnya seorang laki-laki ditengah laut yang sedang berjalan diatas ombak menuju ke pantai. Setibanya di pantai,pecalah ombak dan bertepatan dengan itu, muncullah seorang wanita dari pecahan ombak tersebut.Jadi, saat pendatang asing itu melangkah kedarat, ombak besar menghambur ke pantai dan dari pecahan ombak ini muncul pulah seorang wanita. Karena itu, Gumolangit menamakan Laki-laki itu “Tumotoi Bokol”, yang artinya meniti pada ombak. Sedangkan si wanita dinamakan “Tumotoi Bokat”, artinya keluar dari pecahan ombak.

Kemudin Gumolangit meneruskan perjalanannya di tepi laut hingga ia merasa lelah dan haus. Tiba-tiba ia melihat seruas bambu. Setelah di amat-amati, ternyata bambu tersebut tidak mempunyai ruas. Sepotong bambu itu merupakan pipa yang ujung ruasnya tidak berbuku. Diambilnya bambu itu dan menujulah dia ke suatu sumber mata air yang mengalir dari celah_celah batu.

Ketika hendak mengisi air, Tangan Gumolangit yang satu dipakai menutup ujung bambu bagian bawah, agar tidak terbuang. Setelah bambu terisi penuh, Gumolangit hendak meminumnya. Namun terjadilah suatu keajaiban. Dari bambu itu tak setetes pun air yang keluar untuk dapat diminum. Beberapa kali dia berusaha menuangkan air ke mulutnya. Tetapi air itu tidak pernah keluar dari bambu.

Sementara Gumolangit terheran-heran dan bertanya-tanya tentang ihwal kejadian itu, Tiba-tiba potongan bambu itu pecah berserakan dan secara ajaib berdirilah seorang perempuan di depannya. Karena terkajut, sampai-sampai dia terlompat ke udara. Gumolangit menamakan perempuan ini “Tendeduata”, yang bermakna pujaan dewa.

Selanjutnya, keempat manusia ini tinggal bersama di puncak Gunung Komasaan. Kemudian mereka menjadi dua pasanga suami-istri Gumolangit-Tendeduata dan Tumotoi Bokol-Tumotio Bokat.
Beberapa waktu terselang, pasangan Gumolangit dan Tendeduata dikaruniai seorang anak perempuan cantuk yang diberi nama Dinondong (yang dieluk-eluk). Tumotoi tumotopi Bokol dan Tumotoi Bokat dianugerahi seorang seorang anak laki-laki yang di beri nama Sugeha.

Setelah dewasa- atas kesepakatan kedua orang tua masing-masing – keduanya di kawinkan. Dari perkawinan Sugeha dan Dinondong, lahirlah seorang anak laki-laki yang di beri nama Sinudu (penerus/penyusul). Ketika telah dewasa, Sindu kawin denga seorang perempuan yang bernama Golingginan (hidup sederhana).

Sinudu dan Golinggian beroleh anak perempuan yang dinamai Sampoto. Sampoto artinya ingin memperoleh wanita. Setelah mencapai dewasa, Sampoto kawin dengan Daliian (Daliyann = ingin mengulang kembali). Perkawinan mereka dianugerahi tiga anak masing-masing bernama: Pondaag, Daagon dan Mokodaag.
Pada usia dewasa, Daagon dikawinkan dengan Dampulolingdan tidak lama kemudian memperoleh anak: Silagondo.

Tahun-tahun terus berganti. Makin lama penduduk makin bertambah. Seiring pertumbuhan penduduk, permukaan air pun semaki surut dan bermunculan banyak daratan. Sejak itu, dimulailah persebaran manusia ke seluruh penjuru Bolaang Mongondow. Bahkan pada masa itu pilah, mulai terbentuk pemukiman-pemukiman (totabuan) baru yang satu sama lain saling berjauhan. Melalui perjalanan waktu, makin lama pertumbuhan pendudukmakin meningkat dan lambat laun manusia tidak saling mengenal lagi.

Ada yang menetap di tempat semula (Huntuk). Ada pulah yang menuju pantai Utara dan kearah pedalaman sebelah timur dan selatan. Yang menuju ke Utara mendiami tempat dan wilayah Pandoli, Sinumolantaan, Ginolantungan, Buntalo, Maelang dan lain-lain. Yang ke pedalaman dataran Mogutalong/dataran Mongondow, menuju Tudu in Passi, Tudu in Lolayan, Tudu in Sia, Polilian, Alot, Batunoloda, Batu Bogani dan sebagainya. Yang menuju ke pedalaman sebelah selatan mendiami tempa-tempat seperti Bumbungan, Mahag, Tabagolinggot, Tabagomamang, Siniyow, Dumoga Mointok, Dumoga Moloben dan lain-lain.

Tempet-tempet ini kemudian berkembang menjadi wilayah pemukiman yang luas. Denagan berkembangnya penduduk di masing-masing wilayah atau kelompok, mereka pun mengangkat kepala kelompok sebagai pimpinan yang berfungsi mengatur tata tertib kehidupan di pemukiman. Orang-orang yang di pilih biasanya mereka yang di nilai cerdik, kuat dan berani. Kepala-kepala kelompok atau pimpinan ini disebut Bogani (gagah dan berani).

Bogani-bogani yang terkenal dimasa itu antara lain: Bogani Damoluwo’ dan Pongayou di Tudu in Passi, Bogani Binongkuyu’ di Tudu in Bakid di Pontodon, Bogani Lingkit di Tudu in Yanggat dan Bogani Dondo di Tudu in Bilalang di Bilalang. Kemudian Bogani Mogedag dan Bogani Bulumondow di Tudu in Lolayan, Bogani Bolongkasi di Buluan, Bogani Rondong dan Bongiloi di Poliian, Bogani Manggopa Kilat dan Salamatiti di Dumoga Moloben, Bogani Amaliye dan Inaliye di Bumbungon, Bogani Damonegang di Tudu in Babo, Bogani Punu Gumolung di Ginolantungan dan sdebagainya. Sedangkan Bogani-bogqani wanita seperti: Salamatit dan Inaliye, kira-kira hidup pada abad XIII dan Inde’Dou’ pada abad XV.

Dapat di kemukakan di sini, hikayat persebaran penduduk yang berpindah menggunakan perahu yang mendarat di sekitar muara sungai Ongkag Lombagin dan sungai Sumoit di tempat-tempat yang kemudian dinamakan bangka’ dan panag. Perahu yang digunkan adalah sejenis perahu besar yang disebut bangka’ dan perahu yang lainnya disebut panag. Hikayat ini mempunyai muatan aspek histories yang sangat vital. Fakta empiris ini, antara lain, dapat menunjukan dan membenarkan dugaan bahwa di masa purba kala terdapat dua buah danau besat di pedalaman Bolaang Mongondow. Uraian ini di kutip dari penjelasan penerjemah buku Dunnebier, Mengenal Raja-raja Bolaang Mongondow(1998:88-90).

Penduduk yang dating dengan menggunakan bangka’ dan panag, mereka mendiami dataran disekitar dua sungai yang disebutkan diatas. Karena sering banjir besar, pemukiman bangka; dan panag ter ancam, baik oleh banjir itu sendiri maupun ancaman gelombang laut. Penduduk pindah menyelamatkan diri. Sebagian menyusuri pantai dan sebagian yang terdiri dari beberapa kelompok, memilih mencari tempat yang dirasakan lebih aman. Dengan bermodalkan keberanian, tekad dan semangat yang tinggi dengan di pimpim lepala kelompok, mereka mencari pemuliman baru dengan menyusuri aliran sungai menuju ke timur.

Kelompok-kelompok ini menyusuri sungaiOngkag Lombagin. Ketika tiba di tempat pertemuan (bersatunya) Ongkag Mongondow dan Ongkag Dumoga mereka terhenti, karena terjebak dalam hutan lebat yang dilingkupi barisan petunungan berlapis-lapis yang mengapit kedua Ongkag ini. Untuk dapat melanjutkan perjalanan, rombongan ini mengadakan peninjauan sambil menengok keatas (ilumangag), kearah gugusan pegunungan manakah yang harus di tembus. Ditempat ini pula berdirilah kampong yang sekarang bernama Langagon.

Perjalanan dilanjutkan mengikuti huku ongkag Mongondow dan tiba di tempat yang sekarang Desa Solimandungan. Konon, nama desa itu berasal dari kata “Pinolimanonan”, tolimanon yang artinya saling menunggu kawan atau anggota rombongan lain yang tertinggal di belakang. Kemudian kelompok berjalan terus sampai di tempat yang letaknya di Desa Komangaan sekarang ini dan beristirahat. Mereka merasa legah dan betah di tempat ini, “Noanga” (kinoangaan), yang menjelma jadi Desa Komangaan.

Rombongan selanjutnya menembus hutan rimba sambil memberi tanda dengan parang pada pepohonan yang dilewati, yaitu “Taga”, tempat yang sekarang di namakan Sinagaan. Taga’ merupakan penunjuk jalan bagi mereka yang berada di belakang.

Setelah berjalan beberapa hari, kelompok ini tiba di suatu tempat yang sekarang disebut Desa Muntoi. Nama Desa ini berasal dari kata “Noontoy”, dan bermaknah hasil jerih payah yang terkumpul selama dalam perjalanan.

Setelah melewati Muntoi, mereka dating ke lembah kecil yang terbenam di tengah-tengah pegunungan “Motuyobong” atau “Noilobong”, di tempat pertemuan kali Ongkag dan kali Lobing, di Desa Lobong sekarang. Dari sini pengembaraan ditengah hutan dilanjutkan mengikuti lereng “Nogalet” sampai ke atas puncak bukit “Otam”.

Otamon merupakan jenis tumbuhanyang dapat melukai tangan jika mencabutnya tidak hati-hati. Nama tempat ini sekarang berada di Desa Otam dan Desa Wangga. Wangga sebelumnya disebut “Ponugalan” dan berasal dari kata “Tugal” (lubang-lubang kecil) untuk menanam padi dengan menggunakan sepotong bambu atau kayu. Di Tudu Wangga ini pernah di temukan perahu yang di gunakan orang pada masa dahulu.

Lambat lain, seiring dengan pertambahan penduduk, rombongan pengembara ini mencari tempat pemukiman-pemukiman baru. Mereka menjadi kelompok-kelompok yang besar dengan tempat yang makin terpisah satu sama lain. Sehingga, munculnya pemimpin-pemimpin kelompok (bogani), makin menyemarakkan migrasi orang Bolaang Mongondow.

Bahkan lamban laun para bogani itu ,emjelajahi daratan Mongondow (asl kata: Momondow), yang artinya teriakan-teriakan panjang saling bersahutan sebagai tanda atau kode agar tidak kehilangan komunukasi satu sama lain ditengah-tengah daratan hutan belantara yang luas. Dilembah yang luas ini ditemukan banya kali-kali kecil, pohon sagu dan pohon dammar yang getah nya dapat dipakai untuk lampu atau penerangan. Pohon in I dinamakan “Damag-Talong”. Karena itu, dataran yang luas ini dinamakan :Lopa’ in Mogutalong”. Kini, dikenal sebagai wilayah Passi dan Lolayan.

Agaknnya, setelah Gumolangit kawin dengan Tendeduata, dan mendapat anak Dinondong di Huntuk, Baludaa di Bintauna, dia dating ke Dumoga. Seterusnya, kawin lagi dengan Sandilo di Bumbungon. Orang tua, kake dan nenek, bahkan leluhur Sandilo, tentu lahir dahulu dari Gumolangit. Masyarkat Bumbungon serta pemukiman-pemukiman di sekitarnya seperti Mahag, Tobago, Linggot, Tobagomamang, Siniyow, Dumoga mointok dan Dumoga moloben, penduduknya sudah berkembang demikian pesat. Akan tetapi, masi adah generasi yang lebih tua. Mereka seperti yang terdapat dan hidup di Bunbungon dan sekiternya pada abad sebelum atau sekitar panjajahan Portugis.

Salah satu bukti bahwa di bumbungon dan sekitarnya telah berkembang suatu kehidupan masyarakat yang luas, pada saat pecahnya selaput bayi yang bernama Mokodoludut. Orang-orang yang hiruk pikuk yang brlarian dating melahat dan gemuruh bunyi permukaan tanah dilewati kelompok-kelompok manusia dinamakan Mokodoludut, yang artinya menimbulkan gemuruh. Sebaliknya, bagaimana pertumbuhan keluarga Gumolangit di Huntuk dan sekitarnya, setelah Silangondo tidak ada lagi riwayat lanjutannya. Ini berarti bahwa pusat kehidupan masyarakat Bolalang Mongondow pada wakti itubukanlah di Huntuk, Baludaa Bintauna dan sekitarnya. Tapi konsentrasi dan pertumbuhan penduduk justru berkembang di Bumbungon dan sekitarnya. Karena penduduk sudah berkembang luas, disinilah lahir Raja peertama Bolaang Mongondow itu. Kalau Gumolangit dan keturunan, baik di Huntuk Baludaa maupun di Bumbungon Dumoga, hidup dalam tahun 1200-san atau 1300-san, timbul pertanyaan siapa manusia atau dimana asal usul penduduk Bolaang Mongondow yang mendahului periode kehidupan generasi Gumolangit.

Menurut pendapat bahwa manusia atau penduduk Bolaang Mongondow yang hidup lebih awal dari dari masa kehidupan Gumolangit dan keturunannya, baik di Huntuk maupun di Bumbungon, adalah orang-orang atau penduduk Bolaang Mongindow yang hidup dimasa dataran Mongondow dan Dumoga masih berupa dua buah danau yang besar. Penduduk ini adalah mereka yang menggunakan perahu-perahu yang pernah di temukan di desa Wangga sekarang.

Dengan argumentasi ini, maka leluhurnya, putri Sandilo di Bumbungon maupun Gumolangit, bukanlah manusia pertama etnik Bolaang Mongondow. Manusia-manusia yang hidup dan mendiami Bolaang Mongondow pada masa dataran Mongondow ( Mogutalong) dan Dumoga masih merupakan danau, adalah orang-orang yang diperkirakan sebagai laluhur-leluhur penduduk asli Bolaang Mongondow. Kapan perioda keberadaan Danau Mogutalong dan Danau Dumoga, akan dapat di perkirakan setelah ada data terjadinya letusan dahsyat Gunung Ambang pada masa itu. Dan data ini akan dapat ditemukan dalam buku-bukugeografi dan sejarah.

Selanjutnya, tantang hikayat Tendeduata yang berasal dari pecahan Bambu Kuning. Karena sifat ceritanya yang bernada aneh,tentunya diperlukan pemahaman yang rasioanal. Bila di analisis secara nalar, maka konteks probabilitas yang dapat diterima akal sehat memperkirakan, Tendeduata sedang mempersembunyikan diri dalam rumpun Bambu ketika Gumolangit mengambil seruas bambu.

Tentang Tumotoi Bokol dan Tumotoi Bokat, keduanya di kategorikan sebagai bagian dari manusia pendatang (Imigran). Menurut sejarah penduduk Indonesia, asal usul mereka atang dari rumpun palae mongoloid di Indo Cina dan Asia Tenggara. Karena mereka tiba di daratan Bolaang Mongondow melalui laut, dinamakan Tumotoi Bokol dan Tumotoi Bokat.

Mengenai asal-usul penduduk Bolaang Mongondow banyak yang berpendapat bahwa mereka beasal dari Filipina, terutama dari pulau Mindanau. Dugaan ini diperkuat dengan data bahasa (bukan kesamaan bahasa)antara bahasa tagalong di Filipina dan bahasa Mongondow. Misaknya, kat-kata yang sama arti dan penggunaanya seperti: loluang (jalan), tondok (pagar), tubig (air), manuk (ayam), penghulu dan sebagainya. Kemudian, kalau dilihat dari aspek antropologis, strutur fisik antara orang-orang Mindanaudan Bolaang Momngondow, hampir tidak ada perbedaan yang menyolok.

Arus pelayaran manusia dari Filipina, khususnya dari Mindanau di sekitar penjajahan Portugis dan Spanyol baik sebagai nelayan maupun sebagai bajak laut, masih tetap tinggi hingga abad XV. Bogani-bogani Inde’ Dou’, Inde’ Dikin dan lainnya, adalah bogani-bogani yang antara lain, mempunyai tugas utama memberantas perampok dan perompak dari Mindanau. Sebagai suatu bukyi, saat Tadohe dan pembantunya mendarat di laut sekitar Desa Togid, pada awalXVI (1600), Inde; Dou’ hampir membunuhnya, karena disangkah perompak dari Mundanau.

Dou’ alias Inde’ Dou’, ketika itu merupakan pemimpin rakyat adalah seorang wanita yang mewarisi kekuasaan Punu’ Damopolii dan menguasai wilayah Minahasa Selatan, mulai dari Ratahan – Pontak – Buyat dan seluruh Kecamatan Kotabunan sekarang.

Penyebaran Penduduk

Menurut riwayat, hubungan Bolaang Mongondow dan Minahasa sudah terjalin sejak dari masa purba. Puteri Punu’ Mokodoludut, yang bernama Ginsapondo, adalah perintis pertama yang dating ke Minahasa dan kemudian merupakan asal keturunan dari beberapa pemimpin dan tokoh-tokoh di Minahasa. Perpindahan Ginsapondo ke Minahasa, terjadi pada awal abad XV.

Kemudian menjelang akhir abad XV, Punu; Damopolii dikenal sebagai cucu Punu’ Mokodoludut, dating ke Minahasa dan kawin dengan Wulan Uwe Randen yang kemudian disebut Tende in Bulan atau Tendeduayo’.
Di Minahasa dikenal sebagai manusia perkasa dan dinamakan Ramopolii. Damopolii banya mengembara ke Minahasa Utara, Siau, Kema da Likupang. Dalam perjalanan pengembaraan sebagai kebiasaan orang-orang perkasa di zaman purba, diperkenankan untuk kawin yang di Mina-hasa disebut Tateon. Asal kat ini, tot berarti pegang. Nama-nama marga Ramopolii, Damopolii< Polii adalah nama marga yang kini masih berkembang di Minahasa, Biotung dan Manado.

Punu’ Busisi* adalah putra Punu’ Damopolii. Beliau mengikuti jejak ayah nya yang banyak mengembara ke Minahasa. Ia kawin dengan Limbatondo. Puterenya di beri nama Makalalo. Makalalo adalah asal nama minahasa. Konon, karena neneknya Minahasa. Setelah makalalo menjadi Punu’ menggantikan ayah nyak, iya kawin dengan puteri Minahasa Wulan Ganting-ganting dari Mandolang dekat Tateli. NAma-nama Makalalo, Lalo atau Lalu, adalah marga-marga yang kini tetap hudup di Minahasa dan daerah-daerah sekitarnya.

Setelah Punu’ Makalao digantikan putranya Punu’ Mokodompit, Mokodonpit kawin dengan Menggeyadi, seorang putrid berasal dari pulau Lembeh Minahasa, Kotamadya Bitung sejarang. Kemudian Mokodompit kawin dengan Gogune ke Sangir Talaut sekitar 1580.

Puteranya Tadohe lahir di sini dan kembali ke Bolaang Mongondow pada 1600. Turunan Mokodompit di Sangir Talaut, kini dikenal dengan Mokodompis. Kebudayaan kuna antara Bolaang Mongondow dan Sangir Talaut, dalam beberapa hal, ada kesamaan. Menurut sarasehan Budaya se-Sulawesi Utara1981, ada kata-kata yang mengandung kemiripan (kognat). Misalnya kabela (Bolaang Mongondow) dan kawela (Sangir Talaut) untuk alat tempat sirih. Alat kesenian pun ada kesamaan istilah seperti: rambabo, bansi dan tantabua. Tri Tayok banyak kesamaan dengan tari Gunde di Sangir Talaut. Bahkan mungkin nama tari Gunde ini di ambil dari nama istri Mokodompit, yaitu Gogunde.

Seorang putra Tadohe. Loloda Mokoagow menjadi Raja pada tahun 0650-1694. Loloda Mokoagow disebut Raja Bolaang Mongondow dan Minahasa. Karena, Minahasa berada di bawah kekuasaanya. Loloda Mokoagou di namakan juga Raja Manado. Bahkan leluhur Raja Loloda Mokoagow pernah menguasai Desa Bonton di Gorontalo (Valentijn, dalam Dunebier, 1983:27).

Sumber: Lipu'ku in Totabuan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar